“Yang memberi ada, yang menerima ada, yang mengembalikan juga ada. Tinggal pertanyaannya. Dari mana asal uang itu?” tandas TGH Najamudin.
Menurutnya, ada dugaan kuat bahwa dana yang dibagi ke anggota DPRD baru bersumber dari pokir yang digeser lewat Pergub. Hal itu ia sebut sebagai bentuk konspirasi antara pemerintah provinsi dengan oknum legislatif.
“Akibat penyalahgunaan kewenangan melalui Pergub itu, dugaannya, terjadilah pembagian uang. Dalam hal ini, DPRD sebagian besar adalah korban, meski ada oknum yang ikut bermain,” tandasnya.
Karena itu, TGH Najamuddin menegaskan, menegaskan bahwa pelaporan kasus ini ke aparat hukum adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai warga NTB.
Mendapat giliran bicara berikutnya, Prof. Zainal Asikin menggunakan istilah lebih keras. Menurutnya, isu tindak pidana korupsi yang kini mendera DPRD NTB tersbeut, tidak pantas lagi disebut dana siluman, melainkan dana setan karena tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya.
“Kalau masih ada kebaikan bisa disebut siluman. Tapi ini sama sekali tidak ada baiknya. Ini dana setan,” tegasnya.
Akademisi senior Universitas Mataram ini menilai, baik dana pokir maupun dana direktif eksekutif tidak boleh digeser semena-mena tanpa mekanisme APBD perubahan. Terlebih, jika dana pembangunan justru ada embel-embel fee yang malah dibagikan dalam bentuk tunai, maka kategorinya jelas masuk gratifikasi.
“Pejabat publik tidak boleh menerima uang yang tidak jelas asal-usulnya. Itu gratifikasi, dan bila tidak dikembalikan dalam 30 hari statusnya naik menjadi tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Prof. Asikin menegaskan bahwa sebagian anggota DPRD memang sudah mengembalikan uang tersebut, namun status pengembalian masih sebagai titipan. Jika proses hukum berjalan, uang itu akan berubah menjadi barang bukti sitaan dan pemberinya harus diungkap.
Ditegaskan Prof. Asikin, kasus yang terjadi di DPRD NTB dan kini tengah menjadi perhatian publik ini bukan sekadar isu teknis anggaran, melainkan persoalan moral dan hukum yang serius.
“Kalau ini barang haram, barang setan, ya kembalikan saja ke masyarakat. Perjuangan kita adalah menjaga moralitas, bukan memperkaya pribadi,” tandas Prof. Asikin.
Sementara itu, Nurdin Ranggabarani mengungkapkan kembali enam pihak yang terlibat dan memiliki peran. Gubernur, DPRD, penerima uang, operator di internal DPRD, penyedia dana atau bandar, dan terakhir dalang sesungguhnya.
“Kalau APBD ibarat bus dari Mataram ke Bima, anggota DPRD baru itu naik di tengah jalan lalu membajak busnya,” kata dia memberi tamsil.
Politisi asal Sumbawa ini menegaskan, simpul persoalan sesungguhnya ada pada “operator” di internal DPRD yang mengantarkan uang ke anggota dengan jumlah bervariasi.
“Operator inilah yang harus diperiksa aparat hukum,” tegasnya.
Nurdin sendiri mengaku bertabyyun langsung dengan Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal terkait kasus ini. Dan dia yakin sepenuhnya, Gubernur menerbitkan Pergub tanpa memiliki tendensi, apalagi niat jahat yang melawan hukum.
“Gubernur tidak memiliki mens rea,” tandasnya.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pandangan dari peserta diskusi yang hadir. Mantan Anggota DPRD NTB lima periode H Ruslan Turmuzi tampil paling pertama. Dengan tegas, politisi asal Lombok Tengah ini menyebut kasus dana siluman di DPRD NTB ini merupakan hasil konspirasi. Dalam hal ini konspirasi eksekutif dan legislatif.
“Kesimpulannya, ini konspirasi antara Pemerintah Provinsi dan oknum DPRD, baik yang lama maupun yang baru,” tandasnya.
Ruslan menekankan, pergeseran anggaran seharusnya dilakukan dengan mekanisme resmi dan melibatkan Tim Anggaran Pemerintah Daerah, bukan hanya lewat Pergub. Karen aitu, ia meminta aparat hukum segera meningkatkan status perkara ke penyidikan agar tidak menimbulkan kegaduhan berkepanjangan.






