Tokoh muda asal Lombok Tengah, Samsul Qomar, yang mendapat giliran berbicara berikutnya menyoroti aspek etika politik Anggota DPRD NTB yang baru.
“Ada anggota DPRD baru yang tidak sabaran, ingin cepat balikin modal, lalu menabrak etika dan membajak APBD,” tandasnya.
Dalam kasus dana siluman atau dana setan ini, menurut Qomar, operator-lah yang memperjualbelikan nama Gubernur. Sementara anggota baru terjebak karena tergiur cepat mendapat keuntungan. Ia menegaskan bahwa kasus ini kini sepenuhnya menjadi ranah aparat penegak hukum.
Sementara itu, Behor, Aktivis NTPW, mengemukakan tiga komponen krusial
yang harus dicermati bersama. Tiga komponen tersebut adalah Pokir, dana setan, dan Peraturan Gubernur.
“Pertanyaan kita, apakah tiga komponen ini punya korelasi atau justru ada perselingkuhan? Yang jelas, efisiensi anggaran mestinya dilakukan dengan cara benar, bukan dengan pembajakan,” tandasnya.
Behor menekankan pentingnya kembali pada aturan efisiensi sesuai Inpres dan Permendagri, agar tidak terjadi pergeseran anggaran yang liar dan tanpa kendali.
Mendapat kesempatan bicara berikutnya, politisi Partai Gerindra Syawaludin Alsasaki menilai kasus dana siluman sudah terang-benderang karena ada uang yang dikembalikan ke kejaksaan. Namun, aparat hukum dinilai lamban menaikkan status perkara ke penyidikan.
“Barang bukti dan pengakuan sudah ada, kenapa tidak segera ditetapkan tersangka? Kalau Kejati NTB takut, mari kita bawa langsung ke KPK. Jangan biarkan uang rakyat jadi bancakan,” tandasnya.
Lukman, peserta diskusi lainnya menekankan bahwa isu Pokir jangan berhenti pada kepentingan elit semata, tapi harus melihat penderitaan rakyat sebagai substansi utama. Ia juga mengkritisi lambannya aparat hukum dalam penanganan kasus ini.
“Pokir itu uang rakyat dari pajak, tapi sejak lama jadi bancakan. Jangan sampai isu ini jadi alat sandera antara eksekutif, legislatif, dan APH. Substansinya tetap. Apa manfaatnya untuk rakyat?” kata Lukman.
Pada saat yang sama, aktivis Laskar Semeton Sasak menyoroti perlunya kejelasan apakah dana yang dipersoalkan murni Pokir rakyat atau hasil jual-beli Pokir. Mereka menegaskan siap mengawal hingga ke pusat bila laporan hukum mandek di NTB.
“Kalau ini dana Pokir, kita wajib perjuangkan karena itu hak rakyat. Kalau laporan tumpul, kami siap mendobrak, bahkan membawa kasus ini ke KPK atau Kejaksaan Agung,” tandas Laskar Semoton Sasak.
Setelah para peserta diskusi menyampaikan pernyataan, moderator kemudian mempersilakan para pembicara menyampaikan tanggapan sekaligus pernyataan penutup.
TGH Najamudin dalam pernyataannya menegaskan bahwa akar masalah dana pokir terletak pada penyalahgunaan kewenangan melalui Pergub ilegal yang melanggar aturan. Ia menolak anggapan gubernur hanya “wayang”, karena dalam undang-undang gubernur adalah penanggung jawab stabilitas daerah.
“Kalau tidak ada pemotongan, tidak ada jual-beli. Kalau tidak ada Pergub, tidak ada pelanggaran. Itu jelas tanggung jawab pemerintah,” tegasnya.
TGH Najamudin juga menantang publik untuk bersama-sama melapor ke KPK atau aparat hukum lain, sambil menekankan bahwa perjuangan ini murni demi rakyat NTB, bukan kepentingan pribadi.
Sementara itu, Prof. Asikin mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam penegakan hukum agar tidak melumpuhkan DPRD dan pemerintahan daerah. Menurutnya, kasus ini harus segera ditindak untuk pihak-pihak kecil yang sudah jelas, sementara untuk jumlah besar dilakukan bertahap. Ia juga menyoroti kegagalan gubernur dalam komunikasi politik.
“Percuma punya gubernur yang tidak punya telinga. Tidak pernah mendengar rakyatnya,” ujarnya, sembari menilai istilah “direktif” kerap disalahgunakan untuk membenarkan kebijakan yang keliru.






