- Kekecewaan terhadap Ekspektasi yang Tidak Realistis: Gen Z sering kali merasa bahwa perusahaan memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap mereka, terutama dalam hal jam kerja dan beban kerja. Ketika usaha keras mereka tidak dihargai atau diakui, mereka mungkin merasa demotivasi dan memilih untuk hanya melakukan yang minimal.
- Perasaan Tidak Didengar atau Diperhatikan: Ketika karyawan merasa bahwa suara dan pendapat mereka tidak didengar atau diperhatikan oleh manajemen, mereka mungkin merasa tidak memiliki alasan untuk memberikan lebih dari yang diharapkan. Quiet quitting bisa menjadi bentuk pasif dari protes atau ketidakpuasan.
- Kurangnya Apresiasi dan Pengakuan: Apresiasi dan pengakuan adalah motivator penting bagi semua karyawan, termasuk Gen Z. Ketika mereka merasa bahwa kontribusi mereka tidak dihargai, mereka mungkin kehilangan motivasi untuk bekerja lebih keras.
- Kelelahan dan Burnout: Budaya hustle yang terus-menerus dapat menyebabkan kelelahan dan burnout. Ketika karyawan merasa kewalahan dan tidak memiliki waktu untuk memulihkan diri, mereka mungkin memilih untuk mengurangi upaya mereka sebagai mekanisme pertahanan diri.
- Pergeseran Prioritas: Bagi sebagian Gen Z, quiet quitting mungkin merupakan refleksi dari pergeseran prioritas mereka. Mereka mungkin menyadari bahwa pekerjaan bukanlah satu-satunya hal yang penting dalam hidup dan memilih untuk mengalihkan energi mereka ke hal-hal lain yang mereka anggap lebih berharga.
Bukan Sekadar Tren: Implikasi Jangka Panjang
Baik work-life balance maupun quiet quitting bukanlah sekadar tren sesaat di kalangan Gen Z. Kedua fenomena ini memiliki implikasi jangka panjang bagi individu, perusahaan, dan masa depan dunia kerja secara keseluruhan.
Bagi individu, memilih work-life balance dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, mengurangi stres dan risiko burnout, serta memungkinkan mereka untuk menikmati hidup yang lebih seimbang dan memuaskan. Di sisi lain, quiet quitting meskipun mungkin memberikan kelegaan sementara dari tekanan pekerjaan, dapat berdampak negatif pada perkembangan karier, kepuasan kerja, dan bahkan kesehatan mental jangka panjang karena perasaan tidak terlibat dan tidak berprestasi.
Bagi perusahaan, fenomena ini menjadi sinyal penting untuk mengevaluasi kembali budaya kerja dan praktik manajemen mereka. Perusahaan yang gagal menciptakan lingkungan kerja yang mendukung work-life balance dan menghargai karyawan berisiko kehilangan talenta terbaik mereka dan menghadapi masalah seperti penurunan produktivitas, peningkatan turnover, dan kesulitan dalam merekrut karyawan baru. Data menunjukkan bahwa perusahaan dengan budaya kerja yang positif dan fokus pada kesejahteraan karyawan cenderung memiliki tingkat retensi yang lebih tinggi dan kinerja yang lebih baik secara keseluruhan.
Mencari Titik Temu: Menuju Budaya Kerja yang Lebih Sehat
Lantas, bagaimana seharusnya Gen Z dan perusahaan menyikapi fenomena ini? Jawabannya mungkin terletak pada pencarian titik temu antara ambisi karier dan kesejahteraan pribadi.
Bagi Gen Z, penting untuk memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang mereka inginkan dari karier dan kehidupan mereka. Mengejar work-life balance bukan berarti menghindari kerja keras atau ambisi. Ini lebih tentang bekerja secara cerdas, menetapkan prioritas yang jelas, dan memiliki batasan yang sehat. Mereka juga perlu belajar untuk mengkomunikasikan kebutuhan dan harapan mereka kepada atasan dan kolega.
Bagi perusahaan, penting untuk mendengarkan dan memahami perspektif Gen Z. Mereka perlu menciptakan budaya kerja yang mendukung work-life balance, memberikan fleksibilitas, menghargai kontribusi karyawan, dan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan dan pengembangan. Beberapa langkah yang dapat diambil perusahaan meliputi:






