Terlalu Banyak Menghabiskan Waktu di Perjalanan demi Hiburan
Di kota-kota besar, kemacetan adalah musuh bersama. Gen Z cenderung berpikir dua kali jika harus menghabiskan berjam-jam di perjalanan hanya untuk sekadar menikmati hiburan yang sebenarnya bisa mereka dapatkan di tempat yang lebih dekat atau dengan cara lain. Mereka lebih menghargai waktu dan efisiensi. Misalnya, daripada pergi jauh hanya untuk nongkrong di kafe yang sama seperti teman-teman, mereka mungkin lebih memilih kafe yang lebih dekat, atau bahkan membuat kopi sendiri di rumah sambil hangout daring. Konsep “FOMO” (Fear of Missing Out) semakin berkurang bagi mereka, digantikan oleh kesadaran akan pentingnya well-being dan manajemen waktu yang baik. Waktu yang berharga ini lebih baik digunakan untuk pengembangan diri atau aktivitas yang benar-benar memberikan dampak positif.
Membeli Barang Branded Hanya Demi Status
Status sosial memang masih jadi magnet bagi sebagian orang, tapi bagi Gen Z, itu bukan lagi prioritas utama. Mereka lebih mengedepankan fungsionalitas, kualitas, dan nilai personal sebuah barang. Membeli barang branded hanya untuk pamer atau menunjukkan status sosial dianggap tidak worth it. Mereka lebih bangga dengan keberhasilan yang diraih dari kerja keras atau skill yang mereka miliki, bukan dari seberapa mahal barang yang mereka kenakan. Ini adalah pergeseran dari budaya konsumtif yang berorientasi pada citra, menuju budaya yang lebih menghargai substansi dan keaslian.
Kencan yang Tidak Serius dan Menguras Energi
Dunia dating di era digital memang penuh tantangan. Gen Z cenderung lebih pragmatis dalam urusan asmara. Mereka tidak ingin membuang waktu dan energi pada hubungan yang tidak memiliki arah atau hanya sekadar bermain-main. Mereka mencari koneksi yang tulus, komunikasi yang terbuka, dan hubungan yang saling mendukung. Ghosting, flexing, atau drama yang tidak perlu dianggap sebagai hal yang tidak worth it. Mereka lebih suka investasi pada hubungan yang punya potensi masa depan, atau fokus pada pengembangan diri jika memang belum menemukan yang sesuai. Waktu adalah investasi berharga, dan mereka memilih untuk menggunakannya dengan bijak dalam setiap aspek kehidupan, termasuk asmara.
Terlalu Banyak Bergantung pada Berita Negatif di Media Sosial
Meskipun Gen Z sangat melek informasi, mereka juga menyadari dampak negatif dari paparan berita yang terlalu banyak dan seringkali didominasi oleh hal-hal negatif. Mereka cenderung membatasi konsumsi berita yang tidak relevan atau yang memicu kecemasan berlebihan. Alih-alih terus-menerus terpapar berita yang membuat stres, mereka lebih memilih sumber informasi yang terpercaya, objektif, dan yang memberikan solusi atau inspirasi. Doomscrolling, atau kebiasaan terus-menerus menelusuri berita negatif, dianggap tidak worth it karena hanya menguras energi mental dan memberikan dampak buruk pada kesehatan mental.
Pekerjaan yang Hanya Mengejar Gaji Tinggi Tanpa Makna
Bagi Gen Z, gaji memang penting, tapi bukan satu-satunya faktor penentu dalam memilih pekerjaan. Mereka mencari pekerjaan yang memberikan makna, kesempatan untuk berkembang, dan dampak positif bagi masyarakat. Lingkungan kerja yang toksik atau pekerjaan yang membuat mereka merasa tidak dihargai dianggap tidak worth it, bahkan jika gajinya tinggi. Mereka lebih rela mengambil pekerjaan dengan gaji yang sedikit lebih rendah asalkan sesuai dengan passion, nilai-nilai, dan memberikan keseimbangan hidup yang lebih baik. Ini menunjukkan pergeseran prioritas dari sekadar keamanan finansial menuju pencarian purpose dan kebahagiaan dalam berkarya.






