Jangan Nikah Kalau Masih Percaya Hal-Hal Ini!

Jangan Nikah Kalau Masih Percaya Hal-Hal Ini!
Jangan Nikah Kalau Masih Percaya Hal-Hal Ini! (www.freepik.com)

lombokprime.com – Pernikahan, sebuah ikatan suci yang diidamkan banyak pasangan, seringkali diliputi oleh berbagai ekspektasi dan keyakinan yang diwariskan secara turun-temurun, baik dari keluarga, budaya, maupun media. Namun, tidak semua keyakinan tersebut benar adanya. Faktanya, beberapa dari “mitos” tersebut justru bisa menjadi racun perlahan yang menggerogoti keharmonisan rumah tangga, menyebabkan kekecewaan, dan bahkan memicu perpisahan. Memahami dan menghancurkan mitos-mitos ini adalah langkah krusial untuk membangun fondasi pernikahan yang kuat, bahagia, dan langgeng.

Harapan yang Tak Realistis: Awal Mula Keretakan

Ketika kita berbicara tentang pernikahan, seringkali gambaran yang muncul adalah romansa abadi, kebahagiaan tanpa batas, dan penyelesaian masalah yang selalu berakhir manis. Hollywood, novel romantis, dan bahkan cerita dari orang tua seringkali menyajikan narasi pernikahan yang serba sempurna. Namun, kehidupan nyata jauh dari itu. Pernikahan adalah sebuah perjalanan yang dinamis, penuh liku, dan membutuhkan kerja keras dari kedua belah pihak. Menggantungkan harapan pada fantasi yang tidak realistis inilah yang menjadi awal mula keretakan.

Kita mungkin sering mendengar kalimat seperti “Pernikahan itu akan selalu bahagia selamanya,” atau “Pasangan ideal adalah mereka yang tidak pernah bertengkar.” Keyakinan-keyakinan ini, meskipun terdengar indah, adalah jebakan. Mereka menciptakan tekanan yang tidak perlu bagi pasangan untuk selalu menampilkan citra sempurna, menyembunyikan masalah, dan menghindari konflik yang sebenarnya bisa menjadi ajang pertumbuhan. Menganggap pernikahan sebagai garis finish menuju kebahagiaan abadi, bukan sebagai awal dari sebuah petualangan panjang, adalah mitos yang sangat berbahaya.

Mitos #1: “Cinta Saja Cukup untuk Mempertahankan Pernikahan”

Ini adalah salah satu mitos paling umum dan paling berbahaya. Banyak pasangan percaya bahwa selama ada cinta, semua masalah akan teratasi dengan sendirinya. Tentu saja, cinta adalah fondasi yang penting, tetapi cinta saja tidak cukup untuk menjaga sebuah pernikahan tetap kokoh. Pernikahan adalah tentang komitmen, komunikasi, pengertian, dan kemampuan untuk beradaptasi.

Cinta bisa memudar atau berubah bentuk seiring waktu. Tantangan hidup, tekanan finansial, perubahan prioritas, atau bahkan sekadar rutinitas sehari-hari bisa mengikis romantisme awal. Tanpa usaha yang berkelanjutan untuk memelihara hubungan, seperti komunikasi terbuka, menghabiskan waktu berkualitas bersama, dan saling mendukung, cinta bisa saja merana. Data menunjukkan bahwa pasangan yang berinvestasi dalam komunikasi dan pemecahan masalah bersama memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang jauh lebih tinggi. Sebuah studi dari University of California, Berkeley, menunjukkan bahwa pasangan yang secara aktif mempraktikkan rasa syukur dan apresiasi satu sama lain memiliki pernikahan yang lebih stabil dan memuaskan. Ini membuktikan bahwa tindakan nyata, bukan hanya perasaan, adalah kunci kelanggengan.

Mitos #2: “Pasangan Harus Tahu Apa yang Kita Inginkan Tanpa Kita Katakan”

Ini adalah mitos yang sering kali berakar pada konsep “belahan jiwa” atau soulmate, di mana dua individu begitu terhubung hingga mereka bisa membaca pikiran satu sama lain. Kenyataannya, pasangan Anda bukanlah pembaca pikiran. Mereka tidak akan tahu apa yang Anda inginkan, butuhkan, atau rasakan jika Anda tidak mengungkapkannya dengan jelas.

Komunikasi yang buruk adalah salah satu penyebab utama konflik dan ketidakpuasan dalam pernikahan. Asumsi bahwa “dia pasti tahu” hanya akan menimbulkan frustrasi, kesalahpahaman, dan perasaan diabaikan. Pasangan yang sukses adalah mereka yang berani dan mau untuk mengutarakan pikiran dan perasaan mereka secara jujur, sekaligus mendengarkan dengan empati. Ini termasuk hal-hal kecil seperti preferensi makan malam hingga isu-isu besar seperti keuangan atau pengasuhan anak. Jangan menunggu pasangan Anda menebak; bicarakanlah. Statistik dari lembaga konseling pernikahan menunjukkan bahwa lebih dari 60% masalah pernikahan berakar pada komunikasi yang tidak efektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *