lombokprime.com – Apakah Anda merasa hubungan pernikahan terasa hambar meskipun Anda merasa sudah melakukan segalanya dengan benar? Di tengah rutinitas pernikahan, seringkali kita tanpa sadar mempraktikkan kebiasaan-kebiasaan yang, meski terlihat “baik” di permukaan, justru bisa mengikis kehangatan dan gairah dalam rumah tangga. Jangan khawatir, Anda tidak sendirian. Banyak pasangan mengalami hal ini, dan kuncinya adalah memahami dinamika tersembunyi di balik kebiasaan-kebiasaan tersebut. Mari kita selami lebih dalam, agar hubungan Anda kembali bergairah dan penuh warna.
Benarkah Terlalu “Baik” Itu Tidak Baik?
Seringkali, kita diajarkan untuk selalu bersikap baik, pengertian, dan mengalah dalam sebuah hubungan. Namun, apa jadinya jika kebaikan tersebut justru menjadi racun yang perlahan-lahan mematikan semangat dan spontanitas? Pernikahan bukanlah sebuah perusahaan di mana efisiensi dan kepatuhan adalah segalanya. Ia adalah taman yang perlu disiram dengan emosi, kejutan, dan sedikit “kekacauan” yang positif.
Ketika Rutinitas Menguasai dan Membunuh Romansa
Pernikahan yang langgeng seringkali diasosiasikan dengan stabilitas dan rutinitas. Bangun pagi, sarapan bersama, pergi kerja, pulang, makan malam, tidur. Pola ini memang menawarkan rasa aman, tetapi tanpa sentuhan “bumbu” yang tepat, ia bisa menjadi penjara kebosanan. Menurut sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of Family Psychology pada tahun 2023, pasangan yang berhasil menjaga tingkat kebahagiaan tinggi seringkali menunjukkan perilaku mencari hal baru dan mengeksplorasi aktivitas bersama secara berkala, yang secara signifikan mengurangi rasa hambar.
1. Terjebak dalam Peran yang Kaku
Salah satu kebiasaan baik yang bisa menjadi bumerang adalah ketika pasangan terlalu patuh pada peran yang sudah ditetapkan. Misalnya, istri selalu mengurus rumah tangga dan anak, sementara suami fokus mencari nafkah. Sekilas, ini terlihat efisien. Namun, keterpakuan pada peran bisa menghilangkan fleksibilitas dan kesempatan untuk saling mendukung di luar zona nyaman. Bayangkan, jika suami sesekali mencoba memasak atau istri membantu suami dengan proyek sampingan. Sentuhan kecil ini bisa menyuntikkan energi baru dan apresiasi yang mendalam. Data dari survei Gallup tahun 2024 menunjukkan bahwa pasangan yang melaporkan tingkat kepuasan tertinggi dalam pernikahan cenderung memiliki pembagian tugas yang lebih fleksibel dan kolaboratif.
2. Komunikasi yang “Terlalu” Sopan dan Terjaga
Siapa yang tidak ingin punya pasangan yang selalu berbicara sopan dan menghindari konflik? Tentu saja semua mau. Namun, jika kesopanan itu berarti menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaan yang sebenarnya, baik itu kekecewaan, kejengkelan, atau bahkan keinginan terpendam, maka itu bisa menjadi bom waktu. Komunikasi yang sehat bukan hanya tentang berkata-kata manis, tetapi juga tentang keberanian untuk menjadi rentan dan jujur. Penelitian dari Gottman Institute pada tahun 2022 menunjukkan bahwa pasangan yang secara terbuka membahas konflik dan perbedaan pendapat, bahkan jika itu menimbulkan sedikit ketegangan, memiliki tingkat keberhasilan pernikahan yang jauh lebih tinggi daripada mereka yang menghindari konfrontasi sama sekali.
3. Prioritas Anak atau Pekerjaan di Atas Segalanya
Mencintai anak dan berkomitmen pada pekerjaan adalah hal yang sangat mulia. Namun, ketika dua hal ini sepenuhnya menggeser fokus dari hubungan dengan pasangan, dampaknya bisa sangat merugikan. Pasangan bisa merasa diabaikan, padahal mereka juga butuh perhatian, waktu berkualitas, dan momen romantis. Ingat, pondasi rumah tangga adalah hubungan antara suami dan istri. Jika pondasi ini goyah, maka seluruh struktur bisa ikut terancam. Sebuah artikel di Psychology Today pada awal 2025 menyoroti bahwa banyak pasangan yang berhasil menjaga percikan asmara adalah mereka yang secara sengaja menjadwalkan “kencan malam” atau waktu khusus berdua, meskipun memiliki anak kecil atau jadwal kerja yang padat.






