Hubungan yang awalnya hangat bisa berubah dingin tanpa disadari. Ada masa ketika setiap ucapan terdengar seperti pelukan, lalu tiba-tiba kata-kata yang sama terasa seperti pisau bermata dua. Banyak suami mungkin tidak sadar bahwa cara istri berbicara mulai berubah dari bahasa cinta menjadi sindiran halus yang menyakitkan. Fenomena ini bukan sekadar soal kata-kata, melainkan cerminan dari perasaan yang lama terpendam dan komunikasi yang tidak tersampaikan dengan jujur.
Ketika cinta mulai dikaburkan oleh rasa kecewa, bahasa kasih yang dulu menjadi jembatan bisa berubah menjadi dinding pemisah. Pujian yang dulu membuat pasangan tersenyum kini justru terasa seperti kritik terselubung. Di balik tawa ringan, tersimpan kelelahan emosional yang tak terucap. Dan di sinilah muncul bentuk komunikasi yang disebut sebagai agresi pasif, sebuah pola yang sering tidak disadari tetapi bisa sangat merusak hubungan jika dibiarkan berlarut.
Apa Itu Agresi Pasif dalam Hubungan?
Agresi pasif adalah cara seseorang mengekspresikan kemarahan atau ketidakpuasan secara tidak langsung. Alih-alih mengungkapkan perasaan secara terbuka, emosi itu disalurkan melalui sindiran, diam, atau perilaku yang tampak “normal” namun sarat makna tersembunyi. Dalam konteks hubungan rumah tangga, ini sering terjadi ketika satu pihak merasa tidak didengar, tidak dihargai, atau terlalu lelah untuk berkonflik secara langsung.
Bentuk agresi pasif tidak selalu terlihat jelas. Ia bisa berwujud komentar ringan, ekspresi wajah yang datar, atau bahkan tawa kecil yang membuat pasangan bingung antara bercanda atau serius. Ketika istri misalnya, mulai mengubah bahasa cinta seperti pujian dan perhatian menjadi sindiran, itu sering kali bukan tanpa alasan. Ia mungkin merasa kecewa, tetapi memilih cara yang lebih aman untuk mengekspresikannya, meski secara tidak sadar hal itu justru melukai pasangan.
1. Pujian Samar: Ketika “Manis” Menjadi Tajam
Pujian samar adalah bentuk agresi pasif yang paling sering tidak disadari. Kalimat seperti “Lumayan juga ya kamu bantu nyapu, padahal biasanya sibuk banget main HP” terdengar ringan, tapi di dalamnya ada nada kecewa yang tersirat. Istri mungkin ingin mengungkapkan rasa kesal karena pasangan jarang membantu, namun memilih menyampaikannya dengan cara yang terdengar seperti pujian agar tidak memicu pertengkaran.
Masalahnya, bentuk komunikasi seperti ini jarang menyelesaikan apa pun. Justru, ia membuat pasangan bingung dan defensif. Lama-kelamaan, suasana rumah tangga dipenuhi ketegangan halus yang tak pernah benar-benar selesai dibicarakan.
Padahal, jika disampaikan secara asertif, hal yang sama bisa terdengar jauh lebih sehat. Misalnya, “Aku senang banget kamu bantu, semoga bisa sering kayak gini ya, biar aku gak kewalahan.” Kalimat sederhana seperti itu tetap jujur, tapi tidak melukai.
2. Sarkasme yang Disamarkan Sebagai Candaan
Sarkasme sering digunakan untuk menyamarkan kemarahan atau kekecewaan. “Oh, tentu saja kamu lupa lagi, itu kan keahlianmu,” mungkin terdengar lucu di awal, tetapi jika terus diulang, bisa menimbulkan luka emosional yang mendalam.
Sarkasme memberi kesan bahwa seseorang sedang bercanda, padahal sebenarnya sedang menyindir. Istri mungkin tidak ingin terlihat marah, tetapi juga tidak sanggup menahan emosi. Akibatnya, candaan yang seharusnya ringan berubah menjadi bentuk serangan halus yang perlahan mengikis keintiman emosional.
Jika dibiarkan, pola seperti ini dapat menciptakan jarak psikologis. Pasangan yang disindir terus-menerus bisa merasa tidak cukup baik, bahkan ketika ia mencoba memperbaiki diri.






