lombokprime.com – Anggapan bahwa pasangan yang terlihat harmonis lebih rentan bercerai adalah sebuah mitos yang sering kali menyesatkan, dan penting bagi kita untuk menyelaminya lebih dalam. Pernikahan itu seperti gunung es, yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil, sedangkan bagian terbesarnya, dengan segala kompleksitas dan tantangannya, tersembunyi di bawah air. Hubungan yang tampak sempurna dari luar sering kali menyimpan rahasia dan pergulatan yang tak terlihat, dan inilah yang terkadang menjadi pemicu kerentanan dalam jangka panjang.
Memahami Fenomena ‘Harmonis di Luar, Rapuh di Dalam’
Banyak dari kita mungkin pernah melihat atau mengenal pasangan yang dari luar tampak ideal, selalu romantis, jarang bertengkar, dan seolah hidup dalam dongeng. Kita mungkin sering berdecak kagum atau bahkan iri melihat betapa mulusnya hubungan mereka. Namun, kemudian, kabar perceraian mereka tiba-tiba mengagetkan banyak pihak. Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya tidak sesederhana yang kita kira. Ini bukan berarti harmoni itu buruk, tetapi lebih kepada bagaimana harmoni itu dibangun dan dipertahankan. Apakah harmoni itu asli, ataukah ia hanya sebuah topeng untuk menyembunyikan masalah yang tak terpecahkan?
Ketika Beban Tak Seimbang Mengikis Fondasi
Salah satu alasan utama di balik kerentanan pasangan yang terlihat harmonis adalah ketidakseimbangan dalam tanggung jawab rumah tangga. Di era modern ini, peran dalam rumah tangga sering kali tidak lagi terpaku pada stereotip gender. Namun, realitasnya, masih banyak pasangan di mana salah satu pihak menanggung beban yang jauh lebih besar, entah itu dalam pekerjaan rumah, pengasuhan anak, atau bahkan beban finansial.
Bayangkan saja, ada salah satu pasangan yang setiap hari pulang kerja masih harus berjibaku dengan cucian menumpuk, menyiapkan makanan, mengurus anak-anak, sementara pasangannya mungkin duduk santai di depan televisi. Di depan umum, mereka mungkin tersenyum dan saling memuji, menciptakan ilusi bahwa semua baik-baik saja. Namun, di balik tirai, rasa lelah, frustrasi, dan ketidakadilan itu menumpuk sedikit demi sedikit. Lama-kelamaan, gunung es keluhan yang tidak terucap ini bisa runtuh, menyebabkan keretakan yang sulit diperbaiki. Kelelahan fisik dan mental yang kronis ini bisa memicu konflik internal, meskipun tidak pernah diekspos keluar.
Kesiapan Emosional dan Mental: Pondasi yang Sering Terlupakan
Pernikahan bukanlah sekadar perayaan indah dan janji sehidup semati. Ia adalah perjalanan panjang yang penuh liku, membutuhkan kesiapan emosional dan mental yang matang dari kedua belah pihak. Banyak pasangan, terutama di usia muda, mungkin terburu-buru menikah karena alasan sosial, tekanan keluarga, atau sekadar euforia cinta sesaat. Mereka mungkin belum sepenuhnya memahami apa itu komitmen, pengorbanan, dan bagaimana menghadapi badai rumah tangga.
Ketika tantangan datang – entah itu masalah keuangan, konflik dengan mertua, perbedaan pendapat tentang pola asuh, atau sekadar rutinitas yang membosankan – mereka mungkin tidak memiliki “bekal” emosional yang cukup untuk menghadapinya. Alih-alih mencari solusi bersama, mereka justru memilih untuk menghindar, berpura-pura tidak ada masalah, atau bahkan menyalahkan pasangan. Kesiapan mental untuk beradaptasi, berkompromi, dan menghadapi ketidaknyamanan adalah kunci, dan tanpanya, sebuah hubungan yang tampak kokoh pun bisa goyah dengan cepat.
Diam Itu Bukan Emas: Ketika Komunikasi Menjadi Masalah Tersembunyi
Kita sering mendengar pepatah “diam itu emas.” Namun, dalam konteks pernikahan, masalah komunikasi yang dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi bom waktu. Pasangan yang terlihat harmonis mungkin sering menghindari konfrontasi atau diskusi mendalam tentang isu-isu sensitif. Mereka mungkin takut melukai perasaan, atau menganggap bahwa membicarakan masalah hanya akan memperkeruh suasana.
Misalnya, seorang istri mungkin merasa suaminya kurang menghargai usahanya, tetapi dia memilih untuk diam dan menyimpan kekesalannya. Di sisi lain, sang suami mungkin tidak menyadari apa yang dirasakan istrinya karena tidak ada komunikasi yang terbuka. Ketidakmampuan untuk menyampaikan kebutuhan, keinginan, dan kekhawatiran secara efektif bisa menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar. Pertengkaran memang tidak nyaman, tetapi terkadang, pertengkaran yang sehat dan konstruktif justru bisa menjadi katup pelepas tekanan dan sarana untuk saling memahami. Tanpa itu, masalah-masalah kecil bisa menumpuk menjadi gunung es yang menghancurkan.






