4. Tekanan Sosial dan Stigma: Beban “Apa Kata Orang”
Di banyak budaya, termasuk di Indonesia, perceraian masih membawa stigma sosial yang kuat. Ada ekspektasi masyarakat tentang “pernikahan seumur hidup” dan anggapan bahwa perceraian adalah kegagalan pribadi. Orang yang bercerai mungkin menghadapi pandangan negatif, gosip, atau bahkan diskriminasi dari keluarga, teman, atau lingkungan sekitar.
Tekanan untuk “mempertahankan rumah tangga” demi citra keluarga atau menghindari “aib” bisa sangat membebani. Individu mungkin merasa terisolasi atau dihakimi jika mereka memilih untuk bercerai, terutama jika mereka berasal dari komunitas yang konservatif. Ketakutan akan penghakiman dan kehilangan dukungan sosial dapat menjadi penahan yang kuat, membuat seseorang memilih untuk terus menderita dalam diam.
5. Harapan Palsu dan Ilusi Perubahan: “Dia Akan Berubah”
Salah satu jebakan terbesar dalam pernikahan toksik adalah harapan palsu dan ilusi perubahan. Korban seringkali memegang teguh pada janji-janji kosong, momen-momen langka kebaikan, atau kenangan indah dari masa lalu. Mereka mungkin percaya bahwa pasangan mereka akan berubah, bahwa sifat toksiknya hanya sementara, atau bahwa cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi segala masalah.
Siklus kekerasan (tension building, incident, reconciliation, calm) seringkali memperkuat harapan ini. Setelah insiden yang merusak, pelaku mungkin akan meminta maaf, menunjukkan penyesalan, dan berjanji untuk berubah, memberikan secercah harapan yang membuat korban bertahan. Namun, siklus itu biasanya berulang, meninggalkan korban dalam lingkaran harapan dan kekecewaan yang tak berujung.
6. Ketidakberdayaan yang Dipelajari: Terkikisnya Rasa Percaya Diri
Dalam pernikahan toksik yang berlangsung lama, korban seringkali mengalami ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Ini adalah kondisi psikologis di mana seseorang, setelah mengalami serangkaian kejadian buruk yang tidak dapat mereka kendalikan, mulai percaya bahwa mereka tidak memiliki kendali atas situasi mereka di masa depan, bahkan ketika ada kesempatan untuk melarikan diri.
Harga diri mereka terkikis habis, kemampuan mereka untuk mengambil keputusan mandiri menjadi tumpul, dan mereka mulai meragukan kemampuan mereka untuk bertahan hidup di luar hubungan tersebut. Mereka mungkin merasa tidak pantas mendapatkan kebahagiaan, atau bahkan bahwa mereka memang pantas diperlakukan seperti itu. Perasaan tidak berdaya ini adalah penjara tak terlihat yang jauh lebih kuat daripada jeruji besi mana pun.
7. Trauma Bonding: Ikatan Kuat Antara Korban dan Pelaku
Fenomena trauma bonding adalah salah satu aspek yang paling sulit dipahami dari pernikahan toksik. Ini adalah ikatan emosional yang kuat yang berkembang antara korban dan pelaku dalam situasi di mana ada siklus kekerasan dan intermiten reward. Meskipun hubungan itu merusak, korban bisa merasa terikat secara intens dengan pelaku karena adanya momen-momen positif yang diselingi dengan perlakuan buruk.
Otak kita dirancang untuk mencari koneksi dan makna, bahkan dalam situasi yang berbahaya. Dalam trauma bonding, siklus abuse-apology-love bombing menciptakan semacam “adiksi” terhadap pasangan. Momen-momen manis setelah konflik terasa sangat intens dan memuaskan, sehingga korban mengasosiasikan emosi positif tersebut dengan pelaku, terlepas dari rasa sakit yang ditimbulkannya. Ini seperti sebuah roller coaster emosi yang membuat korban merasa hidup, meski pada akhirnya terasa menghancurkan.
Mencari Jalan Keluar: Harapan di Balik Penderitaan
Memahami alasan-alasan ini bukanlah untuk membenarkan penderitaan, melainkan untuk menumbuhkan empati terhadap mereka yang terjebak. Bagi Anda atau orang terdekat yang mungkin sedang mengalami situasi ini, penting untuk diingat bahwa ada jalan keluar. Mengakui bahwa Anda berada dalam pernikahan toksik adalah langkah pertama yang paling sulit, namun juga paling krusial.
Mencari dukungan dari profesional, seperti psikolog atau terapis, sangat disarankan. Mereka dapat membantu Anda memulihkan harga diri, membangun kembali kepercayaan diri, dan merencanakan langkah-langkah konkret untuk keluar dari situasi tersebut. Berbicara dengan teman atau anggota keluarga yang suportif juga bisa menjadi sumber kekuatan yang tak ternilai. Ingat, Anda tidak sendirian.
Pernikahan yang sehat seharusnya memberdayakan, bukan menguras energi. Kebahagiaan dan ketenangan batin Anda adalah prioritas. Meski terasa berat, memilih untuk melangkah keluar dari lingkaran toksik adalah investasi terbesar yang bisa Anda lakukan untuk diri sendiri dan masa depan Anda. Ini adalah tindakan keberanian, bukan kegagalan. Dan percayalah, kebahagiaan yang sejati menunggu di luar sana, di mana Anda bisa bernapas lega dan menjadi diri sendiri sepenuhnya. Jangan biarkan “tersiksa tapi tak cerai” menjadi kisah akhir Anda. Ada kebebasan dan kedamaian yang menanti.






