Karier  

Fleksibel atau Malas? Gen Z Punya Cara Kerja yang Beda!

Fleksibel atau Malas? Gen Z Punya Cara Kerja yang Beda!
Fleksibel atau Malas? Gen Z Punya Cara Kerja yang Beda! (www.freepik.com)

Potensi Burnout

Salah satu risiko terbesar dari work-life integration adalah potensi terjadinya burnout. Ketika batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi kabur, seseorang dapat merasa sulit untuk benar-benar “melepas” dari pekerjaan. Hal ini dapat menyebabkan stres kronis, kelelahan, dan masalah kesehatan mental lainnya.

Kesulitan Membuat Batasan

Mengintegrasikan pekerjaan dan kehidupan pribadi membutuhkan kemampuan untuk membuat batasan yang sehat. Gen Z perlu belajar kapan harus “on” dan kapan harus “off”. Tanpa batasan yang jelas, pekerjaan dapat dengan mudah mengambil alih seluruh waktu dan energi mereka.

Ekspektasi yang Tidak Realistis

Beberapa perusahaan mungkin salah mengartikan work-life integration sebagai karyawan yang selalu siap sedia untuk bekerja. Hal ini dapat menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dan tekanan yang berlebihan pada karyawan. Penting bagi perusahaan untuk memahami bahwa work-life integration seharusnya memberdayakan karyawan, bukan malah membebani mereka.

Bagaimana Gen Z Mencapai Work-Life Integration yang Sehat?

Meskipun tantangan ada, Gen Z memiliki beberapa cara untuk mencapai work-life integration yang sehat dan berkelanjutan:

Menetapkan Prioritas yang Jelas

Gen Z perlu mengidentifikasi apa yang benar-benar penting bagi mereka dalam hidup, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Dengan menetapkan prioritas yang jelas, mereka dapat mengalokasikan waktu dan energi mereka secara lebih efektif dan memastikan bahwa mereka tidak mengabaikan aspek penting dalam hidup mereka.

Membuat Jadwal yang Fleksibel

Fleksibilitas adalah kunci, tetapi tanpa struktur, fleksibilitas dapat menjadi bumerang. Gen Z dapat membuat jadwal mingguan yang mencakup waktu untuk bekerja, beristirahat, berolahraga, menghabiskan waktu dengan orang-orang terkasih, dan mengejar hobi mereka. Jadwal ini tidak harus kaku, tetapi dapat disesuaikan sesuai kebutuhan.

Memanfaatkan Teknologi dengan Bijak

Teknologi dapat menjadi alat yang sangat berguna untuk work-life integration, tetapi penting untuk menggunakannya dengan bijak. Gen Z perlu menetapkan batasan waktu untuk penggunaan teknologi dan memastikan bahwa teknologi tidak mengganggu waktu istirahat dan interaksi sosial mereka.

Belajar Mengatakan “Tidak”

Salah satu keterampilan penting untuk work-life integration yang sehat adalah kemampuan untuk mengatakan “tidak” pada permintaan yang berlebihan. Gen Z perlu belajar untuk mengenali batasan mereka dan tidak merasa bersalah untuk menolak tugas atau komitmen tambahan jika mereka merasa sudah terlalu banyak beban.

Mencari Pekerjaan yang Mendukung Integrasi

Gen Z semakin selektif dalam memilih pekerjaan. Mereka mencari perusahaan yang memiliki budaya kerja yang mendukung work-life integration, seperti menawarkan jam kerja yang fleksibel, opsi kerja jarak jauh, dan program kesejahteraan karyawan.

Work-Life Integration dalam Angka dan Tren Terkini

Data menunjukkan bahwa preferensi Gen Z terhadap work-life integration semakin meningkat. Sebuah laporan dari LinkedIn pada tahun 2024 menunjukkan bahwa “fleksibilitas” dan “keseimbangan kehidupan kerja” adalah dua faktor terpenting yang dipertimbangkan Gen Z saat mencari pekerjaan.

Selain itu, tren remote working dan hybrid working yang semakin populer juga mendukung konsep work-life integration. Menurut survei dari McKinsey pada tahun 2023, lebih dari 80% karyawan yang memiliki kesempatan untuk bekerja secara fleksibel mengatakan bahwa mereka lebih bahagia dan lebih produktif.

Fenomena quiet quitting yang sempat viral juga dapat diinterpretasikan sebagai respons Gen Z terhadap kurangnya work-life integration. Mereka tidak lagi bersedia untuk memberikan lebih dari apa yang dituntut oleh pekerjaan mereka jika mereka merasa tidak dihargai atau jika pekerjaan tersebut mengganggu kehidupan pribadi mereka.

Di sisi lain, muncul pula tren loud quitting, di mana karyawan secara terbuka mengkritik perusahaan mereka terkait isu work-life balance atau integration. Hal ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak takut untuk menyuarakan pendapat mereka dan menuntut perubahan dari perusahaan tempat mereka bekerja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *