lombokprime.com – Mungkin sebagian dari kita berpikir bahwa quiet quitting adalah bentuk kemalasan atau kurangnya etos kerja. Namun, jika kita melihat lebih jeli, fenomena ini jauh lebih kompleks daripada sekadar ogah-ogahan. Quiet quitting adalah respons defensif terhadap tekanan pekerjaan yang berlebihan, kurangnya pengakuan, lingkungan kerja yang toksik, atau bahkan ekspektasi yang tidak realistis dari atasan. Ini adalah strategi bertahan hidup bagi individu yang merasa “terbakar” atau burnout dan telah mencoba berbagai cara untuk menyampaikan keluh kesah mereka namun tidak menemukan respons yang memadai.
Bayangkan saja, Anda adalah seseorang yang selalu berdedikasi, sering lembur, mengambil inisiatif, bahkan rela mengorbankan waktu pribadi demi pekerjaan. Namun, semua itu seolah tidak terlihat, tidak dihargai, atau bahkan dianggap sebagai hal yang wajar. Perlahan, energi Anda terkuras, motivasi menurun, dan Anda mulai mempertanyakan makna dari semua pengorbanan itu. Di titik inilah, quiet quitting bisa menjadi “jalan keluar” tanpa perlu menanggung risiko finansial atau profesional dari pengunduran diri yang sebenarnya.
Mengapa Quiet Quitting Terjadi? Suara Hati Karyawan yang Lelah
Ada beragam alasan yang mendorong seseorang untuk mengadopsi mentalitas quiet quitting. Memahami akar permasalahannya adalah langkah awal untuk mencari solusi yang tepat.
1. Kelelahan Mental dan Fisik (Burnout)
Ini adalah pemicu utama. Tuntutan pekerjaan yang tidak proporsional, jam kerja yang panjang, tekanan target yang tinggi, dan kurangnya waktu untuk istirahat atau rekreasi dapat menyebabkan kelelahan mental dan fisik yang parah. Ketika seseorang mencapai titik burnout, mereka akan cenderung menarik diri, hanya melakukan apa yang benar-benar wajib, dan menghindari tugas tambahan yang bisa memicu kelelahan lebih lanjut.
2. Kurangnya Apresiasi dan Pengakuan
Setiap individu memiliki kebutuhan dasar untuk merasa dihargai. Ketika kerja keras tidak diakui, inisiatif tidak diapresiasi, atau kontribusi diabaikan, semangat kerja akan runtuh. Rasa frustrasi dan kecewa ini bisa mendorong seseorang untuk berpikir, “Untuk apa saya berusaha lebih jika hasilnya sama saja?” Akhirnya, mereka akan membatasi diri pada tugas pokok.
3. Gaji dan Kompensasi yang Tidak Sesuai
Meskipun bukan satu-satunya faktor, kompensasi yang tidak sepadan dengan beban kerja atau tanggung jawab dapat memicu quiet quitting. Jika seseorang merasa gajinya tidak mencerminkan nilai kontribusi mereka, mereka mungkin akan mengurangi usaha dan energi yang diberikan, merasa bahwa “bayaran segini ya sebanding dengan usaha segini.”
4. Lingkungan Kerja yang Toksik
Hubungan yang buruk dengan atasan atau rekan kerja, budaya kerja yang kompetitif secara tidak sehat, atau kurangnya dukungan dari manajemen bisa menciptakan lingkungan yang sangat tidak menyenangkan. Dalam kondisi seperti ini, quiet quitting menjadi bentuk pertahanan diri untuk menjaga kesehatan mental dari dampak negatif lingkungan tersebut.
5. Kurangnya Kesempatan untuk Berkembang
Karyawan yang merasa tidak memiliki ruang untuk berkembang, belajar hal baru, atau meningkatkan karier mereka juga cenderung kehilangan motivasi. Rutinitas yang monoton tanpa prospek yang jelas dapat mematikan semangat dan memicu keinginan untuk hanya menjalankan tugas rutin.
6. Batasan Antara Kehidupan Pribadi dan Profesional yang Buram
Di era kerja remote atau hybrid saat ini, batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Banyak karyawan merasa harus selalu “siap” dan “tersedia” di luar jam kerja, yang menyebabkan ketidakseimbangan hidup. Quiet quitting sering kali menjadi upaya untuk menarik garis tegas dan mengklaim kembali waktu serta energi untuk diri sendiri dan keluarga.






