lombokprime.com – Pernahkah Anda menerima pesan chat yang terlihat biasa saja, tapi entah mengapa terasa menusuk hati? Di era digital ini, komunikasi kita didominasi oleh teks, emoji, dan stiker. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan ini, tersembunyi potensi misinterpretasi yang bisa melukai perasaan tanpa kita sadari. Kata-kata yang kita ketik, sekalipun hanya sebaris kalimat pendek, memiliki kekuatan untuk membangun atau meruntuhkan, menyemangati atau menjatuhkan. Mari kita selami lebih dalam tentang beberapa frasa umum yang sering kita gunakan, tapi ternyata bisa meninggalkan luka di hati penerimanya.
Ketika Kata-Kata Kehilangan Konteksnya: Bahaya Komunikasi Teks
Komunikasi lewat chat memang praktis, tapi juga punya tantangan tersendiri. Kita kehilangan intonasi suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh yang esensial dalam percakapan tatap muka. Akibatnya, niat baik bisa disalahpahami, dan komentar yang tak bermaksud jahat bisa terasa menyakitkan. Ini bukan tentang siapa yang salah, tapi lebih tentang bagaimana kita bisa lebih peka dan bijak dalam memilih kata. Mengapa begitu penting? Karena hubungan kita—baik dengan teman, keluarga, atau rekan kerja—seringkali dibangun dan dipertahankan melalui percakapan sehari-hari, termasuk di ruang obrolan digital.
1. “Oke.” atau “Ya.” – Singkat, Padat, Tapi Dingin
Bayangkan Anda baru saja menceritakan sesuatu yang penting, sebuah ide yang Anda pikirkan matang-matang, atau mungkin pengalaman emosional yang baru Anda alami. Lalu, balasan yang Anda terima hanyalah: “Oke.” atau “Ya.” Mungkin maksud pengirim hanya ingin mengonfirmasi bahwa mereka sudah membaca pesan Anda. Tapi, bagi penerima, respons yang terlalu singkat dan tanpa embel-embel bisa terasa seperti penolakan, ketidakpedulian, atau bahkan kemarahan.
Ini seperti berbicara dengan dinding. Tidak ada validasi, tidak ada empati, dan tidak ada indikasi bahwa lawan bicara Anda benar-benar mendengarkan atau memahami. Dalam konteks personal, ini bisa membuat seseorang merasa diabaikan. Dalam konteks profesional, ini bisa membuat kolega merasa idenya tidak dihargai. Cobalah untuk menambahkan sedikit “bumbu” pada balasan singkat ini, seperti “Oke, aku mengerti!” atau “Ya, bagus sekali!” Sekecil apapun itu, perbedaan rasanya akan sangat besar.
2. “Terserah.” – Melepas Tangan, Menyisakan Beban
Frasa “Terserah.” seringkali diucapkan ketika kita merasa lelah berdebat, tidak punya preferensi kuat, atau bahkan ketika kita ingin orang lain membuat keputusan untuk kita. Namun, bagi penerima, kata ini bisa diinterpretasikan sebagai sikap pasif-agresif, ketidakpedulian, atau justru penyerahan tanggung jawab yang berujung pada beban.
Jika Anda bertanya kepada pasangan ingin makan apa dan ia menjawab “Terserah,” Anda mungkin akan merasa frustrasi karena harus memikirkan segalanya sendiri. Jika dalam grup kerja ada pilihan proyek dan Anda mengatakan “Terserah,” rekan tim mungkin merasa Anda tidak memberikan kontribusi atau tidak peduli dengan hasil akhir. Sebenarnya, ada cara yang lebih baik untuk menyatakan bahwa Anda fleksibel. Misalnya, “Aku serahkan padamu, apa pun pilihanmu pasti bagus!” atau “Aku tidak punya preferensi khusus, bagaimana kalau kita diskusikan beberapa opsi?” Ini menunjukkan keterlibatan, bukan pelepasan.
3. “Santai Aja Kali.” atau “Jangan Baperan.” – Meremehkan Perasaan Orang Lain
Ketika seseorang mengungkapkan kekhawatiran, rasa sedih, atau mungkin sedikit kemarahan, dan kita merespons dengan “Santai aja kali.” atau “Jangan baperan.”, kita sebenarnya sedang melakukan gaslighting atau meremehkan perasaan mereka. Kita memberi kesan bahwa emosi yang mereka rasakan tidak valid atau berlebihan.
Padahal, perasaan adalah hal yang sangat personal. Apa yang bagi kita terasa sepele, bisa jadi sangat penting bagi orang lain. Dengan mengatakan kalimat tersebut, kita bukan hanya tidak mengakui perasaan mereka, tapi juga bisa membuat mereka merasa malu atau bersalah karena telah mengungkapkan emosinya. Alih-alih meremehkan, cobalah untuk memvalidasi perasaan mereka. Misalnya, “Aku mengerti kamu merasa demikian,” atau “Maaf kalau ini membuatmu tidak nyaman.” Bahkan jika Anda tidak setuju, mengakui perasaan mereka adalah langkah pertama menuju empati.






