Anak Gagal Mandiri? Mungkin Karena Terlalu Sayang

Anak Gagal Mandiri? Mungkin Karena Terlalu Sayang
Anak Gagal Mandiri? Mungkin Karena Terlalu Sayang (www.freepik.com)

lombokprime.com – Pola asuh di mana orang tua terlalu ikut campur dalam kehidupan anak, seringkali kita kenal dengan istilah “helicopter parenting”. Bayangkan sebuah helikopter yang tak henti-hentinya berputar-putar di atas, memantau setiap gerak-gerik dan memastikan semuanya berjalan sesuai keinginan pilotnya. Mirip seperti itulah gambaran orang tua dengan gaya asuh ini: sangat terlibat, bahkan cenderung mengontrol, seolah tak ingin melepaskan anak dari pantauan mereka. Niatnya mungkin mulia, ingin melindungi dan memberi yang terbaik. Namun, di balik selimut perhatian yang berlebihan itu, tersimpan potensi dampak negatif yang signifikan bagi perkembangan kemandirian dan kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah.

Bukan rahasia lagi, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk buah hati mereka. Tapi, di era serba cepat dan penuh tekanan ini, batasan antara melindungi dan mengendalikan kadang menjadi buram. Pola asuh “helicopter” ini adalah salah satu contohnya. Ini bukan hanya sekadar ikut campuk sesekali, melainkan sebuah pola berkelanjutan di mana orang tua secara aktif mengintervensi hampir setiap aspek kehidupan anak, mulai dari pilihan akademis, pergaulan, hingga keputusan-keputusan kecil sehari-hari. Lalu, apa sebenarnya yang mendorong orang tua untuk menjadi “pilot helikopter” bagi anak-anak mereka?

Mengapa Orang Tua Jadi “Pilot Helikopter”?

Memahami akar permasalahan adalah langkah pertama untuk menemukan solusi. Ada beberapa alasan kuat yang melatarbelakangi mengapa orang tua cenderung menerapkan pola asuh yang terlalu ikut campur ini.

Ketakutan Akan Kegagalan dan Kekhawatiran Berlebihan

Salah satu pemicu utama adalah kekhawatiran yang mendalam. Orang tua mungkin merasa cemas dan ingin melindungi anak dari segala bentuk kesalahan, kegagalan, bahkan kekecewaan. Mereka melihat dunia ini sebagai tempat yang penuh risiko, dan insting alami seorang orang tua adalah menjaga anak agar tetap aman. Sayangnya, dalam upaya melindungi ini, mereka justru tanpa sadar merampas kesempatan anak untuk belajar dari kesalahan, bangkit dari kegagalan, dan mengembangkan resiliensi. Kekhawatiran ini bisa jadi diperparah oleh tekanan sosial, tuntutan akademik, atau bahkan perbandingan dengan anak-anak lain.

Pengalaman Pribadi dan Proyeksi Diri

Ada kalanya orang tua merasa pengalaman hidup mereka memberi mereka wawasan yang lebih baik dalam mengambil keputusan. Mereka mungkin pernah mengalami kesulitan di masa lalu dan tidak ingin anak mereka merasakan hal yang sama. Akhirnya, mereka memproyeksikan pengalaman tersebut kepada anak, berusaha mengarahkan anak ke jalan yang mereka anggap “benar” atau “lebih aman”. Niatnya baik, ingin anak memiliki hidup yang lebih mudah dan sukses, namun hal ini seringkali melupakan fakta bahwa setiap individu memiliki jalan dan pelajaran hidupnya sendiri yang harus dilalui.

Kebutuhan untuk Mengontrol dan Merasa Tenang

Beberapa orang tua mungkin memiliki kecenderungan alami untuk mengontrol dan merasa lebih tenang jika mereka bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Rasa tidak pasti bisa memicu kecemasan, dan dengan mengontrol setiap aspek kehidupan anak, mereka merasa memiliki kendali penuh atas hasil dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Ini bisa menjadi mekanisme koping bagi orang tua yang perfeksionis atau yang memiliki kecemasan tinggi. Sayangnya, hidup tidak selalu bisa diprediksi, dan anak perlu belajar menghadapi ketidakpastian ini sejak dini.

Ketika “Niat Baik” Berbuah Dampak Negatif

Sekalipun dilandasi niat baik, pola asuh “helicopter parenting” bisa berakibat fatal bagi perkembangan anak di berbagai aspek. Dampak-dampak ini seringkali tidak langsung terlihat, namun perlahan mengikis potensi dan kesehatan mental anak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *