lombokprime.com – Memiliki orang tua yang penyayang adalah dambaan setiap anak, namun bagaimana jika kasih sayang itu berlebihan hingga berubah menjadi overprotektif? Dampak psikologis punya orang tua overprotektif ternyata lebih dalam dari sekadar kekangan, bisa membentuk karakter anak menjadi kurang percaya diri hingga sulit mandiri. Pola asuh overprotective, yang seringkali didasari oleh rasa cemas berlebihan orang tua, tanpa disadari justru dapat menghambat perkembangan anak secara emosional dan sosial. Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai dampak-dampak psikologis yang mungkin timbul akibat pola asuh ini, serta bagaimana cara menghadapinya.
Apa Sebenarnya Orang Tua Overprotektif Itu?
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami batasan antara perhatian dan overprotective. Orang tua yang perhatian tentu akan selalu memastikan keselamatan dan kesejahteraan anaknya, namun mereka juga memberikan ruang bagi anak untuk bereksplorasi dan belajar dari pengalaman. Sementara itu, orang tua overprotektif cenderung bertindak berlebihan dalam melindungi anak dari segala potensi bahaya, baik nyata maupun hanya dalam pikiran mereka.
Sikap overprotektif ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari terlalu sering melarang anak melakukan aktivitas tertentu, selalu mengontrol setiap kegiatan anak, hingga mengambil alih tugas-tugas yang sebenarnya mampu dikerjakan anak sendiri. Intinya, kontrol yang berlebihan dan kurangnya kepercayaan pada kemampuan anak menjadi ciri utama pola asuh ini.
Daftar Panjang Dampak Psikologis Overprotektif
Pola asuh overprotektif bagaikan pedang bermata dua. Niat awalnya baik, yaitu melindungi anak, namun dampaknya justru bisa merugikan perkembangan psikologis anak dalam jangka panjang. Berikut adalah beberapa dampak psikologis yang seringkali muncul:
1. Kurang Percaya Diri dan Penakut
Salah satu dampak paling umum dari overprotective parenting adalah anak menjadi kurang percaya diri. Ketika orang tua selalu hadir untuk melindungi dan menyelesaikan masalah anak, secara tidak langsung anak belajar bahwa mereka tidak mampu menghadapi tantangan sendiri. Mereka tumbuh dengan perasaan tidak aman dan takut mengambil risiko, karena terbiasa dengan lingkungan yang serba aman dan terkontrol.
Sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Cambridge University Press menyebutkan bahwa anak yang dibesarkan oleh orang tua overprotektif cenderung tumbuh menjadi pribadi yang “berkecil hati, takut mengambil risiko, tidak percaya diri dan tidak punya inisiatif.” Ketakutan orang tua akan bahaya seolah menular pada anak, membuat mereka ragu pada kemampuan diri sendiri dan selalu merasa cemas dalam menghadapi hal baru.
2. Sulit Mandiri dan Bergantung pada Orang Lain
Orang tua overprotektif seringkali melakukan banyak hal untuk anak, bahkan untuk tugas-tugas yang sebenarnya mampu mereka lakukan sendiri. Akibatnya, anak tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemandirian dan keterampilan memecahkan masalah. Mereka terbiasa bergantung pada orang lain, terutama orang tua, untuk setiap kesulitan yang dihadapi.
Psikolog Lauren Feiden dari Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa overprotective parenting dapat membuat anak “terlalu bergantung pada orang tua dan sulit mengatasi masalahnya sendiri.” Kemandirian adalah kunci penting untuk sukses dan bahagia di masa depan. Anak yang terlalu dilindungi akan kesulitan beradaptasi dan menghadapi tantangan hidup ketika mereka dewasa dan harus hidup mandiri.
3. Kesulitan Bersosialisasi dan Berinteraksi
Anak yang dibesarkan dalam lingkungan overprotektif seringkali kurang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya secara bebas. Orang tua mungkin terlalu khawatir anak akan terluka, dibully, atau terpengaruh hal-hal negatif dari lingkungan luar. Padahal, interaksi sosial sangat penting untuk perkembangan kemampuan sosial dan emosional anak.
Ketika anak terlalu dibatasi dalam bergaul, mereka bisa mengalami kesulitan untuk “berinteraksi di lingkungan sosial,” seperti yang disebutkan dalam sebuah studi dari Politeknik Kampar. Mereka mungkin menjadi canggung, tidak tahu cara memulai percakapan, atau kesulitan memahami norma-norma sosial yang berlaku. Akibatnya, mereka bisa merasa terisolasi dan kesulitan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.






