Bahaya Tak Terlihat! Pola Asuh Ini Bisa Hancurkan Masa Depan Anak

Bahaya Tak Terlihat! Pola Asuh Ini Bisa Hancurkan Masa Depan Anak.
Bahaya Tak Terlihat! Pola Asuh Ini Bisa Hancurkan Masa Depan Anak. (www.freepik.com)

Pola Asuh “Pencari Validasi” yang Mengutamakan Persetujuan Orang Lain

Di era media sosial seperti sekarang, mencari validasi dari orang lain menjadi fenomena yang semakin umum. Pola asuh yang secara tidak langsung mengajarkan anak perempuan untuk selalu mencari persetujuan atau pujian dari orang lain bisa menjadi jebakan. Ini bisa terjadi ketika orang tua terlalu fokus pada prestasi anak yang bisa dipamerkan (misalnya nilai akademik tinggi, bakat tertentu), atau terlalu sering membandingkan anak dengan anak lain.

Anak perempuan yang dibesarkan dengan pola asuh ini mungkin merasa bahwa nilai dirinya tergantung pada apa yang orang lain pikirkan tentang mereka. Mereka akan berusaha mati-matian untuk menyenangkan orang lain, bahkan jika itu berarti mengorbankan kebahagiaan atau prinsip mereka sendiri. Kehausan akan validasi ini bisa membuat mereka rentan terhadap rayuan atau janji manis dari pihak yang ingin memanfaatkan.

Contohnya, seorang anak perempuan yang selalu dipuji karena kecantikannya atau kepintarannya, dan jarang diajarkan tentang nilai-nilai intrinsik atau kekuatan karakternya. Ia mungkin akan terus mencari pujian dan perhatian dari luar, bahkan jika itu berarti harus melakukan hal-hal yang tidak nyaman atau tidak aman. Mereka bisa jatuh ke dalam hubungan yang tidak sehat hanya karena pasangannya memberikan “validasi” yang mereka inginkan, meskipun di balik itu ada niat tersembunyi. Ketergantungan pada validasi eksternal ini membuat mereka kurang percaya pada intuisi dan penilaian diri sendiri, memudahkan orang lain untuk mengarahkan mereka sesuai keinginan si manipulator.

Pola Asuh “Materialistis” yang Mengukur Kebahagiaan dari Kepemilikan

Dalam masyarakat modern, konsumerisme dan materialisme seringkali menjadi bagian tak terpisahkan. Pola asuh yang secara eksplisit atau implisit mengajarkan anak perempuan bahwa kebahagiaan atau kesuksesan diukur dari kepemilikan benda-benda materi bisa menjadi celah bagi eksploitasi. Ini terjadi ketika orang tua terlalu fokus pada memberikan segala sesuatu yang anak inginkan secara materi, tanpa mengajarkan nilai-nilai kerja keras, kesederhanaan, atau kepuasan batin.

Anak perempuan yang tumbuh dengan pola pikir materialistis mungkin merasa bahwa mereka harus memiliki barang-barang tertentu untuk bisa merasa bahagia atau diterima di lingkungan sosial. Mereka bisa mengembangkan keinginan yang tak terbatas akan kemewahan atau barang-barang bermerek. Keinginan ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang menawarkan “jalan pintas” untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, seringkali dengan imbalan yang merugikan.

Bayangkan seorang anak perempuan yang selalu mendapatkan apa pun yang ia inginkan secara materi, tanpa perlu berusaha. Ia mungkin akan tumbuh dengan mentalitas bahwa segala sesuatu bisa didapatkan dengan mudah, asalkan ada “harga” yang dibayar. Ketika ia beranjak dewasa, ia mungkin lebih mudah tergoda oleh tawaran-tawaran yang menjanjikan kekayaan atau kemewahan instan, bahkan jika tawaran tersebut melibatkan risiko besar atau bahkan eksploitasi. Mereka mungkin tidak melihat “red flags” karena fokus utama mereka adalah pada keuntungan materi yang dijanjikan, sehingga memudahkan orang lain untuk memanipulasi mereka demi keuntungan pribadi.

Pola Asuh “Terlalu Cepat Dewasa” yang Melucuti Masa Kanak-kanak

Di sisi lain dari spektrum, ada pola asuh yang secara tidak sengaja “memaksa” anak perempuan untuk tumbuh terlalu cepat atau mengambil tanggung jawab orang dewasa sebelum waktunya. Ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti kondisi keluarga yang sulit, orang tua tunggal yang membutuhkan bantuan, atau orang tua yang terlalu membebankan masalahnya kepada anak.

Anak perempuan yang kehilangan masa kanak-kanaknya dan dipaksa menjadi “orang dewasa mini” seringkali tumbuh dengan luka emosional yang mendalam. Mereka mungkin tidak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi diri, bermain, atau mengembangkan identitas mereka secara sehat. Akibatnya, mereka bisa merasa kekurangan cinta, perhatian, atau perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan di masa kecil.

Kekosongan emosional ini bisa membuat mereka rentan terhadap orang-orang yang menawarkan “cinta” atau “perhatian” yang mereka rindukan. Mereka mungkin mencari figur pengganti orang tua atau pasangan yang bisa mengisi kekosongan tersebut, bahkan jika orang tersebut memiliki niat buruk. Karena mereka terbiasa memikul beban berat sejak dini, mereka mungkin kurang memiliki batasan pribadi dan lebih mudah dibujuk untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya mereka lakukan. Mereka bisa menjadi target empuk bagi predator yang mencari individu yang haus akan kasih sayang dan perhatian, dan yang akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Ketidakmampuan untuk merasakan masa kanak-kanak yang utuh juga membuat mereka kurang memiliki insting perlindungan diri, karena mereka sudah terbiasa dengan situasi yang tidak ideal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *