lombokprime.com – Pernahkah kita merasa bangga luar biasa melihat si kecil selalu unggul dalam segala hal? Mulai dari nilai-nilai akademis yang cemerlang, prestasi di bidang olahraga, hingga bakat seni yang menonjol. Rasanya seperti memiliki permata yang berkilauan, bukan? Fenomena anak “overachiever” ini memang seringkali membuat orang tua merasa bangga dan lega. Kita cenderung berpikir bahwa ini adalah tanda kesuksesan, jaminan masa depan cerah, dan bukti dari kerja keras serta dedikasi anak. Namun, pernahkah terbersit di benak kita bahwa di balik gemerlap prestasi itu, ada potensi efek samping yang tak terlihat, yang mungkin justru membayangi kebahagiaan dan kesehatan mental mereka?
Mungkin kamu bertanya-tanya, “Memangnya salah kalau anak berprestasi?” Tentu saja tidak ada yang salah dengan berprestasi. Malah, dorongan untuk mencapai yang terbaik adalah hal yang sangat positif. Masalahnya muncul ketika dorongan itu berubah menjadi tekanan berlebihan, baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Ketika definisi “sukses” hanya terpaku pada pencapaian eksternal, dan ketika kegagalan dianggap sebagai aib, di situlah bibit-bibit masalah mulai tumbuh. Artikel ini akan mengajakmu menyelami lebih dalam dunia anak “overachiever” dan menguak sisi lain yang mungkin luput dari perhatian kita, agar kita bisa lebih peka dan memberikan dukungan yang tepat.
Mengapa Anak Menjadi “Overachiever”? Memahami Akar Masalahnya
Ada berbagai faktor yang bisa mendorong seorang anak untuk menjadi “overachiever”. Memahami akar permasalahannya adalah langkah pertama untuk bisa memberikan dukungan yang tepat dan mencegah efek samping negatif yang mungkin muncul.
Ekspektasi Tinggi dari Lingkungan
Salah satu pendorong terbesar adalah ekspektasi yang sangat tinggi, baik dari orang tua, guru, maupun lingkungan sekitar. Seringkali, tanpa disadari, kita memproyeksikan impian dan ambisi kita kepada anak. Frasa seperti “Kamu harus jadi yang terbaik,” atau “Lihat temanmu, dia bisa, kenapa kamu tidak?” bisa menjadi beban berat bagi pundak kecil mereka. Anak-anak sangat ingin menyenangkan orang tua dan guru, sehingga mereka berusaha keras untuk memenuhi harapan tersebut, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu bermain atau waktu istirahat mereka. Mereka belajar bahwa cinta dan pengakuan datang dari pencapaian, bukan dari siapa mereka sebenarnya.
Dorongan Internal yang Perfeksionis
Selain tekanan eksternal, banyak anak “overachiever” memiliki dorongan internal yang kuat untuk menjadi sempurna. Mereka menetapkan standar yang sangat tinggi untuk diri sendiri dan merasa tidak nyaman jika tidak mencapainya. Perfeksionisme ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mendorong mereka untuk bekerja keras dan menghasilkan karya terbaik. Di sisi lain, ia bisa memicu kecemasan yang luar biasa, takut salah, dan kesulitan untuk menikmati proses. Mereka mungkin terjebak dalam siklus tanpa akhir untuk membuktikan nilai diri mereka, dan tidak pernah merasa “cukup baik.”
Pencarian Validasi dan Penerimaan
Dalam beberapa kasus, anak-anak menjadi “overachiever” sebagai cara untuk mendapatkan validasi dan penerimaan. Mungkin mereka merasa kurang diperhatikan di rumah, atau mungkin mereka merasa perlu membuktikan diri agar dianggap penting oleh teman-teman. Prestasi menjadi semacam tameng, atau cara untuk mendapatkan pujian dan perhatian yang mereka dambakan. Sayangnya, validasi yang didasarkan pada pencapaian eksternal seringkali tidak bertahan lama dan tidak memberikan kebahagiaan sejati. Mereka mungkin merasa kosong di dalam, meskipun di luar terlihat sukses.






