Banyak Orang Tua Salah Kaprah, Jadi Teman Bukan Solusi Anak!

Banyak Orang Tua Salah Kaprah, Jadi Teman Bukan Solusi Anak!
Banyak Orang Tua Salah Kaprah, Jadi Teman Bukan Solusi Anak! (www.freepik.com)

Menetapkan Batasan yang Sehat dan Konsisten

Batasan (boundary) adalah fondasi keamanan bagi anak. Ketika orang tua menetapkan batasan yang jelas dan konsisten, anak belajar tentang konsekuensi, rasa hormat, dan disiplin diri. Ini membantu mereka merasa aman karena tahu apa yang diharapkan dari mereka dan apa yang tidak. Misalnya, menetapkan jam malam atau batasan penggunaan gadget. Awalnya mungkin ada penolakan, tapi konsistensi adalah kuncinya. Data dari American Academy of Pediatrics (2018) menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dengan batasan yang jelas cenderung memiliki regulasi emosi yang lebih baik dan lebih sedikit masalah perilaku.

Memberikan Dukungan Emosional yang Tepat

Bimbingan juga berarti memberikan dukungan emosional, tetapi bukan dalam bentuk membenarkan semua perilaku anak. Dukungan emosional yang tepat adalah mendengarkan tanpa menghakimi, memvalidasi perasaan anak, dan kemudian membantu mereka menemukan solusi atau cara yang sehat untuk menghadapi emosi tersebut. Jika seorang anak merasa sedih, orang tua bisa berkata, “Mama tahu kamu sedih, tapi yuk, kita pikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya.” Ini berbeda dengan hanya berkata, “Sudah, jangan sedih terus.” Ini adalah bimbingan yang memberdayakan.

Keseimbangan: Menjadi Pembimbing yang Akrab, Bukan Pembimbing yang Diktator

Lalu, bagaimana caranya menjadi pembimbing tanpa terlihat seperti diktator atau sosok yang menakutkan? Kuncinya adalah keseimbangan. Kita bisa akrab dengan anak, mendengarkan mereka, dan bahkan sesekali bersenang-senang seperti teman, tetapi kita tidak boleh melupakan peran utama kita sebagai orang tua.

Berikut beberapa tips untuk menemukan keseimbangan tersebut:

Komunikasi Terbuka dan Jujur

Dorong anak untuk berbicara tentang apa pun yang mereka rasakan atau pikirkan. Dengarkan dengan saksama, ajukan pertanyaan, dan tunjukkan empati. Namun, jika ada perilaku yang perlu dikoreksi, sampaikan dengan jujur namun penuh kasih. Hindari bahasa yang menyalahkan atau merendahkan. Misalnya, daripada berkata, “Kamu ini ceroboh sekali!”, lebih baik, “Mama lihat mainanmu berserakan. Yuk, kita bereskan bersama.”

Berikan Contoh Nyata

Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka dengar. Jadilah teladan dalam hal nilai-nilai, etika kerja, dan cara menghadapi tantangan. Jika Anda ingin anak Anda jujur, pastikan Anda juga selalu jujur dalam setiap tindakan Anda.

Libatkan Anak dalam Pengambilan Keputusan (yang Sesuai Usia)

Memberikan sedikit otonomi akan membantu anak merasa didengar dan dihormati. Biarkan mereka memilih baju sendiri (dalam batasan yang wajar), atau memilih menu makan malam sesekali. Ini melatih mereka membuat keputusan dan memahami konsekuensi. Namun, untuk keputusan besar yang berdampak jangka panjang, peran Anda sebagai pembimbing tetap di depan.

Berikan Konsekuensi, Bukan Hukuman

Ketika anak melakukan kesalahan, jelaskan konsekuensinya dengan tenang dan konsisten. Konsekuensi harus relevan dengan tindakan dan bertujuan mendidik, bukan menyakiti. Misalnya, jika anak tidak merapikan mainan, konsekuensinya adalah tidak boleh bermain lagi sampai mainan dibereskan. Ini mengajarkan mereka tentang tanggung jawab. Sebuah studi dari jurnal Developmental Psychology pada tahun 2019 menemukan bahwa disiplin yang berfokus pada konsekuensi logis dan non-koersif lebih efektif dalam membentuk perilaku positif jangka panjang.

Luangkan Waktu Berkualitas

Di tengah kesibukan, meluangkan waktu berkualitas sangat penting. Ini bisa berupa makan malam bersama tanpa gadget, membaca buku sebelum tidur, atau sekadar mengobrol santai. Momen-momen ini membangun ikatan yang kuat dan membuka ruang untuk bimbingan yang lebih efektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *