Ini 7 Kebiasaan Pola Asuh yang Merugikan Anak Tapi Sering Dianggap Wajar

Ini 7 Kebiasaan Pola Asuh yang Merugikan Anak Tapi Sering Dianggap Wajar
Ini 7 Kebiasaan Pola Asuh yang Merugikan Anak Tapi Sering Dianggap Wajar : Foto oleh Vitaly Gariev di Unsplash

Orang tua sering kali yakin bahwa tindakan mereka adalah bentuk kasih sayang dan disiplin, padahal tanpa sadar bisa jadi itu adalah pola asuh yang merugikan. Dalam keseharian, banyak kebiasaan kecil yang tampak sepele, tetapi memiliki dampak besar bagi perkembangan emosional dan mental anak. Pola asuh seperti ini sering disebut sebagai toxic parenting atau pola asuh beracun.

Masalahnya, efek dari pola asuh merugikan ini tidak selalu terlihat langsung. Ia tumbuh diam-diam, membentuk cara anak melihat dirinya sendiri, caranya menghadapi dunia, dan bahkan caranya mencintai orang lain di masa depan. Itulah mengapa penting bagi setiap orang tua untuk menyadari bahwa kasih sayang sejati bukan sekadar tentang mendisiplinkan, melainkan juga tentang memahami dan menumbuhkan anak dengan cara yang sehat secara emosional.

Apa Itu Pola Asuh Merugikan Anak

Pola asuh merugikan anak adalah kebiasaan, cara mendidik, atau perlakuan yang membuat anak merasa tidak aman, tidak dihargai, atau tidak dicintai, baik secara sadar maupun tidak. Pola ini bisa muncul dari niat baik yang salah arah, misalnya orang tua ingin anaknya disiplin, berprestasi, atau tidak kesulitan di masa depan. Namun cara yang dipilih justru menimbulkan luka batin dan menghambat tumbuh kembang anak secara emosional maupun mental.

Dalam jangka panjang, pola asuh seperti ini dapat memengaruhi kepercayaan diri, kemampuan anak untuk menjalin hubungan sosial yang sehat, hingga cara mereka menghadapi tekanan hidup. Anak yang tumbuh di bawah pola asuh merugikan sering kali membawa beban emosional yang tak terlihat hingga dewasa.

Berikut beberapa kebiasaan sehari-hari yang sering dianggap wajar, tetapi sebenarnya tergolong pola asuh yang merugikan anak.

1. Sering Memarahi dan Mengkritik

Banyak orang tua menganggap bahwa memarahi anak adalah cara mendidik agar anak tidak mengulangi kesalahan. Namun jika dilakukan terus-menerus, terutama dengan nada tinggi atau kata-kata yang menyakitkan, hal ini bisa meninggalkan luka batin mendalam. Anak yang tumbuh dengan amarah dan kritik konstan akan merasa dirinya selalu salah dan tidak cukup baik.

Dalam jangka panjang, anak berisiko mengalami kecemasan, depresi, serta kesulitan percaya pada dirinya sendiri. Mereka juga bisa tumbuh menjadi pribadi yang takut mengambil keputusan karena terbiasa dikritik atas setiap tindakan.

Sebaliknya, orang tua bisa mencoba memberikan umpan balik yang konstruktif. Fokuslah pada perilaku, bukan pada karakter anak. Misalnya, katakan “Ibu tahu kamu bisa lebih hati-hati lagi lain kali” daripada “Kamu selalu ceroboh.” Dengan begitu, anak tetap belajar tanggung jawab tanpa merasa direndahkan.

2. Mengendalikan Setiap Aspek Kehidupan Anak

Pola asuh otoriter sering dianggap sebagai bentuk kedisiplinan yang efektif. Orang tua mengatur segalanya, mulai dari cara berpakaian, teman bermain, hingga cita-cita anak. Padahal, terlalu banyak kontrol justru membuat anak kehilangan ruang untuk berkembang.

Ketika setiap keputusan diambilkan oleh orang tua, anak akan kesulitan mengenali dirinya sendiri. Ia tumbuh dengan rasa takut salah dan tidak berani mencoba hal baru. Dalam jangka panjang, ini bisa membuat anak tidak mandiri dan sulit mengekspresikan diri.

Lebih baik, berikan anak kesempatan membuat keputusan kecil sesuai usianya. Misalnya, biarkan ia memilih baju yang ingin dipakai atau menentukan menu sarapan. Dengan begitu, anak belajar tanggung jawab dan mengenal konsekuensi dari pilihannya.

3. Membandingkan Anak dengan Orang Lain

Kebiasaan membandingkan anak sering muncul tanpa disadari, seperti mengatakan, “Lihat, adikmu lebih rajin,” atau “Temanmu saja bisa dapat nilai bagus.” Kalimat ini mungkin dimaksudkan untuk memotivasi, tetapi justru membuat anak merasa tidak cukup baik.

Perbandingan membuat anak kehilangan rasa percaya diri dan merasa cintanya bersyarat. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa untuk dicintai, mereka harus menjadi seperti orang lain.

Dampak jangka panjangnya, anak bisa mengalami iri hati, cemburu, dan hubungan yang renggang dengan saudara atau teman. Sebaliknya, orang tua sebaiknya menghargai keunikan setiap anak. Fokuslah pada usaha dan prosesnya, bukan hasil atau perbandingannya dengan orang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *