Orang Tua Niat Baik, Tapi Ini 5 Cara Didik Anak yang Justru Bikin Trauma

Orang Tua Niat Baik, Tapi Ini 5 Cara Didik Anak yang Justru Bikin Trauma
Orang Tua Niat Baik, Tapi Ini 5 Cara Didik Anak yang Justru Bikin Trauma (www.freepik.com)

Membanding-bandingkan Anak: Hilangnya Keunikan Diri

“Kenapa kamu tidak bisa seperti Kakak/Adikmu?” atau “Lihat temanmu, dia pintar sekali, kenapa kamu tidak?” Pernahkah kita mendengar atau bahkan mengucapkan kalimat-kalimat semacam ini? Membanding-bandingkan anak, entah dengan saudaranya, temannya, atau bahkan dengan diri kita di masa lalu, adalah praktik yang sangat merusak. Setiap anak adalah individu yang unik, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Perbandingan yang terus-menerus akan menumbuhkan rasa iri, minder, dan bahkan kebencian pada diri sendiri atau orang yang dibandingkan. Anak mungkin merasa tidak pernah cukup baik, tidak pernah dihargai apa adanya, dan terjebak dalam perlombaan yang tidak akan pernah berakhir.

Alih-alih membandingkan, fokuslah pada potensi unik yang dimiliki anak Anda. Rayakan setiap pencapaian kecilnya, dorong minatnya, dan bantu dia mengembangkan bakatnya sendiri. Bantu mereka memahami bahwa setiap orang memiliki jalannya sendiri dan bahwa kesuksesan tidak selalu harus diukur dengan standar orang lain. Ketika anak merasa diterima dan dicintai apa adanya, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, mampu menghargai diri sendiri, dan tidak takut untuk mengeksplorasi identitasnya. Ingat, bunga mawar dan bunga melati sama-sama indah, namun dengan caranya sendiri.

Memberi Hadiah sebagai Solusi Masalah: Manipulasi Emosional yang Terselubung

Pernahkah Anda mencoba meredakan tangisan anak dengan permen, atau menjanjikan mainan baru agar anak mau belajar? Memberi hadiah sebagai upaya untuk “menyelesaikan” masalah atau sebagai satu-satunya bentuk motivasi, meskipun terlihat manis di permukaan, bisa menjadi bentuk manipulasi emosional yang terselubung. Anak mungkin belajar bahwa perilaku baik mereka hanya akan dihargai jika ada imbalan materi, bukan karena kesadaran akan pentingnya perilaku itu sendiri. Lebih jauh, mereka mungkin akan menggunakan tangisan atau perilaku negatif sebagai cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, karena mereka tahu akan ada “hadiah” yang mengikuti.

Pendekatan ini juga menghambat anak dalam mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah, mengelola emosi, dan memahami konsekuensi alami dari tindakan mereka. Alih-alih memberikan hadiah instan, bantu anak memahami mengapa suatu perilaku itu baik atau buruk. Ajarkan mereka untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan biarkan mereka merasakan konsekuensi yang logis (bukan hukuman yang berlebihan) dari keputusan mereka. Hadiah sebaiknya diberikan sebagai bentuk apresiasi atas usaha atau pencapaian yang tulus, bukan sebagai alat tawar-menawar. Pujian verbal, waktu berkualitas bersama, atau kegiatan yang mereka sukai bisa menjadi bentuk “hadiah” yang jauh lebih bermakna dan membangun karakter.

Mengabaikan Emosi Anak: Menanam Benih Rasa Tidak Valid

“Jangan cengeng,” “Masa gitu aja nangis,” atau “Nggak usah lebay!” Seringkali, dalam upaya membentuk anak menjadi pribadi yang kuat dan tidak mudah menyerah, kita tanpa sadar meremehkan atau mengabaikan emosi mereka. Ketika anak mengungkapkan kesedihan, kemarahan, atau ketakutan, dan kita meresponsnya dengan penolakan atau validasi yang minim, kita sebenarnya sedang mengirim pesan bahwa perasaan mereka tidak penting atau tidak sah. Anak mungkin belajar untuk menekan emosinya, merasa malu karena perasaannya, dan akhirnya kesulitan untuk mengungkapkan dirinya secara jujur di kemudian hari.

Emosi adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Mengajari anak untuk mengenali, memahami, dan mengekspresikan emosinya dengan cara yang sehat adalah salah satu keterampilan hidup paling penting yang bisa kita berikan. Ketika anak menangis, alih-alih langsung membujuknya berhenti, cobalah untuk bertanya, “Apa yang kamu rasakan?” atau “Ceritakan padaku kenapa kamu sedih.” Validasi perasaan mereka: “Wajar kok kalau kamu merasa sedih/marah karena…” Setelah itu, bantu mereka menemukan cara yang konstruktif untuk mengatasi emosi tersebut. Ini bukan berarti kita harus selalu mengikuti keinginan anak, tetapi lebih kepada memberikan ruang aman bagi mereka untuk merasakan dan memproses apa yang sedang terjadi dalam diri mereka. Dengan begitu, mereka akan belajar bahwa emosi bukanlah kelemahan, melainkan bagian dari diri yang perlu dipahami dan dikelola.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *