lombokprime.com – Membangun fondasi toleransi sejak dini pada anak adalah salah satu hadiah terbaik yang bisa kita berikan, dan di sinilah cultural parenting memainkan peran krusial. Di tengah hiruk pikuk dunia yang kian terhubung namun juga sering diwarnai polarisasi, kemampuan untuk menerima dan menghargai perbedaan adalah keterampilan hidup yang tak ternilai. Bayangkan anak-anak kita tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kaya empati dan berjiwa besar, mampu berinteraksi dengan siapa saja, dari latar belakang apa pun. Ini bukan sekadar impian, melainkan tujuan yang bisa kita raih melalui pendekatan pengasuhan yang mempertimbangkan aspek budaya secara mendalam.
Di Indonesia, dengan keragaman suku, agama, dan adat istiadatnya, mengajarkan toleransi bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Namun, bagaimana kita bisa melakukannya tanpa terkesan menggurui atau membebani anak? Jawabannya terletak pada cara kita menghadirkan dunia dengan segala keunikannya ke dalam kehidupan mereka sehari-hari, melalui pengalaman nyata, cerita, dan interaksi. Ini tentang membuka mata dan hati mereka pada kekayaan yang ada di luar diri mereka, dan membantu mereka memahami bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih luas.
Memahami Pentingnya Cultural Parenting di Era Modern
Cultural parenting, atau pengasuhan berbasis budaya, lebih dari sekadar mengajarkan anak tentang tradisi atau asal-usul keluarga. Ini adalah sebuah filosofi yang mengakui bahwa budaya adalah lensa utama kita dalam memandang dunia, dan bahwa pemahaman akan budaya lain adalah kunci untuk menumbuhkan empati dan toleransi. Di era digital ini, anak-anak terpapar informasi dari berbagai penjuru dunia dalam sekejap mata. Tanpa fondasi yang kuat dalam pemahaman budaya, mereka bisa jadi kesulitan menyaring informasi, terjebak dalam stereotip, atau bahkan mengembangkan prasangka.
Maka, cultural parenting hadir sebagai panduan. Ini membantu anak-anak menavigasi kompleksitas dunia dengan pikiran terbuka, memahami bahwa setiap budaya memiliki nilai dan keindahan tersendiri. Ini juga tentang membantu mereka membangun identitas diri yang kuat, yang berakar pada warisan budaya mereka sendiri, namun tetap terbuka untuk merangkul keberagaman. Ketika seorang anak memahami siapa dirinya dan dari mana ia berasal, ia akan lebih mudah menghargai identitas orang lain. Ini adalah langkah pertama menuju toleransi sejati: mengakui diri sendiri, lalu mengakui dan menghargai orang lain.
Membangun Fondasi Toleransi Sejak Usia Dini
Mengajarkan toleransi kepada anak-anak tidak perlu menunggu mereka dewasa. Justru, usia dini adalah masa paling subur untuk menanamkan benih-benih kebaikan ini. Anak-anak bagaikan spons, mereka menyerap semua yang mereka lihat dan dengar dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, lingkungan rumah tangga memegang peranan sentral.
Sebagai orang tua, kita adalah panutan utama. Cara kita berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang, cara kita membicarakan berita atau isu-isu sosial yang melibatkan perbedaan, semua ini akan ditiru oleh anak-anak kita. Jika kita menunjukkan rasa ingin tahu, rasa hormat, dan keterbukaan, kemungkinan besar anak-anak kita juga akan mengadopsi sikap yang sama. Sebaliknya, jika kita menunjukkan sikap menghakimi atau tertutup, mereka mungkin akan menginternalisasi hal tersebut. Jadi, mari kita mulai dari diri sendiri.
Toleransi bukanlah sekadar menerima perbedaan, melainkan juga memahami akar dari perbedaan itu sendiri. Ini melibatkan rasa ingin tahu yang mendalam dan kesediaan untuk belajar. Kita bisa memulainya dengan hal-hal sederhana di rumah.






