Mengapa ini terdengar sombong? Ini merendahkan pengetahuan atau pengalaman orang lain dan menempatkan diri kita sebagai otoritas tunggal. Ini bisa membuat lawan bicara merasa tidak termotivasi untuk berbagi atau belajar dari kita.
Bagaimana mengubahnya? Bagikan pengalamanmu sebagai cerita atau saran, bukan sebagai pernyataan superioritas. “Aku pernah di posisi itu, dan yang membantuku adalah…” atau “Mungkin ini hanya pengalamanku, tapi siapa tahu bisa membantumu.” Pendekatan ini lebih mengundang diskusi dan berbagi pengetahuan.
Mengapa Kita Sering Tanpa Sadar Mengucapkan Hal-Hal Ini?
Ada beberapa alasan mengapa kita seringkali tergelincir dan mengucapkan kalimat-kalimat yang berpotensi terdengar sombong:
Kebiasaan dan Pola Komunikasi
Kita tumbuh dengan mendengar atau menggunakan frasa-frasa ini dari lingkungan sekitar. Tanpa refleksi, kita terus mengulanginya tanpa menyadari dampaknya. Ini adalah pola komunikasi yang mungkin sudah mengakar dan butuh kesadaran untuk mengubahnya.
Ingin Terlihat Berkompeten atau Superior
Terkadang, ada dorongan bawah sadar untuk menunjukkan bahwa kita lebih tahu, lebih berpengalaman, atau lebih pintar. Ini bisa jadi mekanisme pertahanan diri atau keinginan untuk diakui. Namun, keinginan ini bisa kontraproduktif jika disampaikan dengan cara yang salah.
Kurangnya Empati
Kesulitan untuk menempatkan diri di posisi orang lain seringkali menjadi akar masalah. Ketika kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang lain saat mendengar perkataan kita, kita cenderung tidak peka. Empati adalah kunci untuk komunikasi yang lebih baik.
Rasa Tidak Aman
Ironisnya, di balik sikap sombong seringkali tersembunyi rasa tidak aman atau inferioritas. Dengan merendahkan orang lain atau meninggikan diri, kita mencoba menutupi kekurangan atau kerentanan diri sendiri.
Membangun Komunikasi yang Menginspirasi dan Mencerahkan
Setelah mengetahui frasa-frasa yang perlu dihindari, langkah selanjutnya adalah membangun komunikasi yang lebih positif dan konstruktif. Ini bukan hanya tentang menghindari yang buruk, tetapi juga tentang aktif menciptakan kebaikan dalam setiap interaksi.
Fokus pada Mendengarkan Aktif
Sebelum berbicara, dengarkanlah. Dengarkan dengan sepenuh hati, tanpa memotong atau menyiapkan jawaban di kepala. Berikan ruang bagi lawan bicaramu untuk mengekspresikan diri sepenuhnya. Mendengarkan aktif menunjukkan rasa hormat dan validasi. Ini adalah fondasi dari setiap percakapan yang bermakna.
Gunakan Bahasa yang Inklusif
Alih-alih “aku” atau “kamu”, coba gunakan “kita”. Ini menciptakan rasa kebersamaan dan menunjukkan bahwa kita berada di pihak yang sama. Misalnya, daripada “Kamu harusnya gini…”, coba “Bagaimana kalau kita coba cari solusi bersama?”.
Berbagi, Bukan Menggurui
Jika ingin berbagi pengalaman, bingkai sebagai cerita atau pelajaran yang bisa diambil, bukan sebagai “inilah yang harus kamu lakukan”. Ungkapkan dengan kerendahan hati bahwa ini adalah perjalananmu, dan mungkin bisa jadi inspirasi bagi orang lain. “Aku belajar banyak dari pengalamanku saat itu, mungkin ada satu atau dua hal yang bisa jadi bahan pemikiran.”
Pujian yang Tulus dan Spesifik
Alih-alih mencari kesalahan, carilah kesempatan untuk memberikan pujian yang tulus. Pujian yang spesifik dan tulus bisa sangat meningkatkan moral dan membangun hubungan. “Aku sangat kagum dengan caramu mengatasi situasi sulit itu,” jauh lebih baik daripada pujian umum yang hambar.
Akui Kekurangan Diri Sendiri
Tidak ada yang sempurna. Berani mengakui kesalahan atau kekurangan diri sendiri justru menunjukkan kekuatan dan kerendahan hati. Ini membuat kita lebih relatable dan mudah didekati. “Aku juga pernah melakukan kesalahan yang sama,” bisa menjadi kalimat pembuka yang membangun jembatan, bukan tembok.
Latih Kesadaran Diri
Sebelum berbicara, luangkan waktu sejenak untuk mempertimbangkan dampak kata-kata yang akan keluar dari mulut kita. “Apakah ini akan membangun atau justru meruntuhkan?” “Bagaimana jika aku berada di posisi mereka?” Kesadaran diri adalah alat yang ampuh untuk meningkatkan kualitas komunikasi kita.
Dampak Positif Komunikasi Empatik
Mengubah pola komunikasi dari yang berpotensi sombong menjadi lebih empatik dan inklusif akan membawa banyak dampak positif dalam hidup kita:
- Hubungan yang Lebih Kuat: Orang-orang akan merasa lebih nyaman dan terbuka dengan kita, membangun ikatan yang lebih dalam dan tulus.
- Peningkatan Kepercayaan: Ketika kita menunjukkan kerendahan hati dan empati, orang lain akan lebih percaya pada kita, baik dalam konteks personal maupun profesional.
- Peluang Kolaborasi yang Lebih Baik: Orang akan lebih mau bekerja sama dengan kita jika kita tidak terkesan dominan atau arogan. Ini membuka pintu untuk ide-ide baru dan inovasi.
- Lingkungan yang Lebih Positif: Kita berkontribusi pada penciptaan lingkungan sosial yang lebih suportif dan saling menghargai.
- Perkembangan Diri: Dengan terus belajar dan merefleksikan cara berkomunikasi, kita terus tumbuh sebagai individu yang lebih baik dan lebih bijaksana.
Mari Berproses Bersama
Perubahan tidak terjadi dalam semalam. Mengubah kebiasaan berkomunikasi membutuhkan waktu, kesadaran, dan latihan. Mungkin sesekali kita masih tergelincir, itu wajar. Yang penting adalah keinginan untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Ingat, komunikasi adalah seni, dan setiap hari adalah kesempatan untuk mengasah kemampuan itu.






