lombokprime.com – Di era digital yang serba cepat ini, budaya kerja tanpa henti seolah menjadi standar baru bagi banyak orang, terutama di kalangan anak muda. Kita sering kali melihat unggahan di media sosial yang memamerkan jam kerja panjang, rapat hingga larut malam, atau bahkan bekerja saat liburan sebagai tanda dedikasi dan kesuksesan. Namun, di balik narasi heroik ini, muncul pertanyaan mendalam: apakah yang kita lakukan ini adalah kerja keras yang sehat, atau justru terjebak dalam lingkaran kecanduan produktivitas yang merugikan? Anak muda zaman sekarang mulai jeli melihat fenomena ini, mereka mulai berani menantang dan mendefinisikan ulang makna produktivitas yang sebenarnya.
Mengapa Kita Terjebak dalam Budaya “Always On”?
Fenomena “always on” atau selalu terhubung dan siap bekerja bukan tanpa alasan. Ada beberapa faktor yang berkontribusi pada budaya ini, mulai dari tekanan ekonomi hingga persepsi sosial tentang kesuksesan.
1. Tekanan Ekonomi dan Persaingan yang Ketat
Di Indonesia, seperti halnya di banyak negara berkembang, persaingan di dunia kerja sangatlah ketat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di kalangan usia muda (15-24 tahun) masih menjadi perhatian, meskipun ada tren penurunan. Tekanan untuk mengamankan pekerjaan yang layak, mempertahankan posisi, dan meningkatkan jenjang karir seringkali mendorong individu untuk bekerja ekstra keras. Ada anggapan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja, semakin besar peluang untuk sukses dan mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
2. Pengaruh Media Sosial dan “FOMO Produktivitas”
Media sosial telah menjadi panggung di mana kita memamerkan diri, termasuk dalam hal produktivitas. Unggahan tentang “hustle culture,” bangun jam 4 pagi untuk bekerja, atau tetap produktif meskipun sedang liburan, seringkali memicu rasa “FOMO” (Fear of Missing Out) akan produktivitas. Kita merasa bahwa jika tidak melakukan hal yang sama, kita akan tertinggal atau dianggap kurang ambisius. Padahal, apa yang terlihat di media sosial seringkali hanyalah puncak gunung es, tanpa menunjukkan tantangan atau dampak negatif di baliknya. Sebuah survei global dari Asana pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 80% pekerja mengalami kelelahan (burnout) setidaknya sekali dalam setahun, dengan lebih dari 40% merasa kelelahan karena tekanan pekerjaan yang berlebihan.
3. Batasan yang Kian Memudar Antara Kerja dan Hidup Pribadi
Perkembangan teknologi, khususnya smartphone dan laptop, telah memungkinkan kita untuk bekerja dari mana saja dan kapan saja. Meskipun ini menawarkan fleksibilitas, di sisi lain, batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi sangat tipis. Notifikasi email yang masuk di tengah malam, atau pesan pekerjaan di hari libur, seolah menghapus garis tegas antara waktu untuk bekerja dan waktu untuk beristirahat. Akibatnya, pikiran kita selalu berada dalam mode “siaga kerja,” yang secara tidak langsung berkontribusi pada perasaan lelah dan kurangnya waktu untuk diri sendiri.
Tanda-Tanda Kita Terjebak dalam Kecanduan Produktivitas
Mengenali perbedaan antara kerja keras yang sehat dan kecanduan produktivitas adalah kunci. Berikut adalah beberapa tanda yang mungkin menunjukkan bahwa kita telah melampaui batas:
1. Kelelahan Kronis dan Kurangnya Energi
Jika Anda merasa lelah sepanjang waktu, bahkan setelah tidur yang cukup, ini bisa menjadi tanda pertama. Kecanduan produktivitas seringkali menguras energi fisik dan mental, membuat Anda sulit fokus dan merasa lesu. Menurut sebuah penelitian dari Harvard Business Review pada tahun 2022, kelelahan kronis akibat pekerjaan berlebihan dapat menurunkan produktivitas hingga 68% dan meningkatkan risiko kesalahan.






