lombokprime.com – Mungkin niatnya baik, ingin menghibur dan memotivasi. Tapi, tahukah kamu bahwa kata-kata yang terlalu ‘positif’ ini ternyata bisa menyakiti orang lain? Ya, di balik niat tulus itu, terkadang ada dampak yang justru membuat perasaan seseorang semakin tak karuan. Ini bukan tentang menolak optimisme, melainkan tentang memahami nuansa dan empati yang lebih dalam dalam berinteraksi.
Toxic Positivity: Ketika Positivitas Menjadi Racun
Fenomena ini sering disebut sebagai toxic positivity. Bayangkan saja, seseorang sedang berjuang keras dengan masalah pribadi yang rumit, seperti kehilangan orang terkasih, gagal dalam ujian penting, atau bahkan berhadapan dengan masalah kesehatan mental. Lalu, datanglah teman atau keluarga dengan wajah ceria dan berkata, “Positive vibes only! Kamu harus selalu bahagia.” atau “Lihat sisi baiknya saja, pasti ada hikmahnya.” Sekilas, kalimat ini terdengar inspiratif. Namun, bagi yang sedang merasakan sakit, kalimat-kalimat ini bisa terasa seperti tamparan.
Mengapa demikian? Karena toxic positivity mengabaikan dan meniadakan validitas emosi negatif yang sedang dirasakan seseorang. Rasanya seperti dilarang untuk bersedih, marah, atau kecewa. Padahal, emosi-emosi ini adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Ketika kita dipaksa untuk selalu merasa positif, kita justru merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi standar tersebut. Ini bisa menimbulkan perasaan isolasi, bahwa apa yang kita rasakan itu salah, dan pada akhirnya justru menghambat proses penyembuhan atau penerimaan.
Mengapa Kita Sering Terjebak dalam Toxic Positivity?
Ada beberapa alasan mengapa kita sering kali tanpa sadar terjebak dalam toxic positivity. Pertama, kita tumbuh dalam budaya yang sering kali mengagungkan kebahagiaan dan optimisme di atas segalanya. Sejak kecil, kita diajarkan untuk “tersenyum walau hati menangis” atau “jangan tunjukkan kesedihanmu”. Kedua, ketidaknyamanan kita sendiri terhadap emosi negatif. Melihat orang lain bersedih atau menderita bisa membuat kita merasa tidak nyaman, dan secara refleks kita ingin ‘memperbaikinya’ dengan menawarkan solusi cepat berupa afirmasi positif. Ketiga, kurangnya pemahaman tentang pentingnya validasi emosi. Kita mungkin berpikir bahwa dengan mengarahkan seseorang untuk berpikir positif, kita membantu mereka keluar dari masalah, padahal yang mereka butuhkan justru adalah didengarkan dan dipahami.
Validasi Emosi: Sebuah Kekuatan Tersembunyi
Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan? Kuncinya adalah validasi emosi. Ini bukan berarti kita harus ikut-ikutan larut dalam kesedihan orang lain, melainkan mengakui bahwa apa yang mereka rasakan itu valid dan wajar. Ketika seseorang menceritakan kesulitan mereka, alih-alih langsung memberikan nasihat positif, cobalah untuk mengatakan hal seperti: “Aku bisa mengerti betapa beratnya ini bagimu,” atau “Pasti rasanya sakit sekali ya.” Kalimat-kalimat sederhana ini bisa menjadi jembatan empati yang kuat.
Validasi emosi memberikan ruang bagi seseorang untuk merasakan dan memproses emosi mereka tanpa penghakiman. Ini menunjukkan bahwa kamu hadir, mendengarkan, dan menerima mereka apa adanya, lengkap dengan segala kerentanan mereka. Ketika seseorang merasa didengar dan diterima, beban di pundak mereka bisa terasa sedikit lebih ringan, dan mereka akan merasa lebih aman untuk membuka diri.
Contoh Kata-Kata Positif yang Berpotensi Menyakiti
Mari kita bedah beberapa kalimat umum yang sering digunakan dengan niat baik, namun berpotensi menyakiti:
- “Semua akan baik-baik saja!”
- Mengapa Menyakiti: Ini meniadakan perasaan cemas atau takut yang sedang dialami. Baginya, saat ini, tidak ada yang baik-baik saja.
- Alternatif Empati: “Aku tahu ini terasa berat sekarang. Aku di sini bersamamu, apa pun yang terjadi.”
- “Jangan sedih, harus semangat!”
- Mengapa Menyakiti: Kesedihan adalah respons alami terhadap kehilangan atau kekecewaan. Memaksa seseorang untuk semangat saat ia sedang berduka adalah menolak haknya untuk merasakan emosi tersebut.
- Alternatif Empati: “Wajar kalau kamu merasa sedih sekarang. Ambil waktumu untuk merasakannya.”
- “Positive vibes only!”
- Mengapa Menyakiti: Ini menciptakan lingkungan di mana emosi selain kebahagiaan dianggap tabu atau tidak boleh ditunjukkan.
- Alternatif Empati: “Tidak apa-apa kok kalau kamu sedang tidak merasa baik. Aku di sini kalau kamu butuh bicara atau sekadar ditemani.”
- “Lihat sisi baiknya saja, pasti ada hikmahnya.”
- Mengapa Menyakiti: Meskipun ada kebenaran dalam menemukan hikmah, kalimat ini sering kali dilontarkan terlalu cepat, sebelum seseorang siap untuk melihat “sisi baiknya.” Ini bisa terasa seperti meremehkan penderitaan mereka.
- Alternatif Empati: “Aku tahu ini sulit. Semoga kamu bisa menemukan kekuatan untuk melewati ini. Kalau butuh teman bicara, aku selalu ada.”
- “Kamu kuat, pasti bisa melewati ini!”
Memberikan Dukungan Nyata, Bukan Sekadar Kata-Kata Manis
Memberikan dukungan yang efektif tidak selalu berarti harus mengucapkan kalimat-kalimat yang terdengar bijak atau super positif. Seringkali, dukungan terbaik datang dari tindakan nyata dan kehadiran yang tulus.






