lombokprime.com – Rasa cinta yang membara ternyata memengaruhi otak kita, bukan sekadar urusan hati. Pernahkah kamu merasa seperti dunia hanya berputar pada satu orang saja? Atau mungkin kamu pernah mengambil keputusan yang di luar nalar demi seseorang yang kamu cintai? Tenang saja, kamu tidak sendirian. Fenomena ini, yang sering disebut “dibutakan cinta”, sejatinya adalah proses kompleks yang melibatkan serangkaian reaksi kimia dan perubahan struktural di dalam otak kita. Ini bukan mitos atau sekadar kiasan puitis; ini adalah fakta ilmiah yang menarik!
Ketika Cinta Menguasai Otak: Fenomena Dopamin dan Oksitosin
Rasa cinta seringkali dimulai dengan ketertarikan yang kuat, sebuah fase yang didominasi oleh pelepasan dopamin di otak. Dopamin adalah neurotransmitter yang terkait dengan sistem penghargaan dan kesenangan. Ketika kita berinteraksi dengan orang yang kita sukai, atau bahkan hanya memikirkannya, otak kita membanjiri diri dengan dopamin. Ini menciptakan perasaan euforia, motivasi yang tinggi, dan fokus yang intens. Kita merasa sangat termotivasi untuk menghabiskan waktu bersama orang tersebut, mencari tahu lebih banyak tentang mereka, dan pada dasarnya, melakukan apa pun untuk mendapatkan “hadiah” berupa interaksi positif.
Namun, cinta bukan hanya tentang dopamin. Seiring berjalannya waktu dan hubungan semakin mendalam, hormon lain yang tak kalah penting mulai berperan: oksitosin. Sering disebut sebagai “hormon pelukan” atau “hormon ikatan”, oksitosin dilepaskan saat ada sentuhan fisik, seperti berpelukan atau bergandengan tangan, dan juga selama momen kedekatan emosional. Oksitosin inilah yang memperkuat ikatan, membangun rasa percaya, dan menciptakan perasaan nyaman serta aman. Kombinasi dopamin dan oksitosin ini menciptakan koktail neurokimia yang luar biasa kuat, yang dapat menjelaskan mengapa cinta terasa begitu adiktif dan mengapa kita merasa sangat terikat pada pasangan kita.
Cinta dan Penurunan Fungsi Otak Kritis
Meskipun cinta membawa kebahagiaan dan kehangatan, ada sisi lain yang menarik untuk dicermati, yaitu bagaimana cinta dapat memengaruhi kemampuan kita untuk berpikir rasional. Saat kita sedang jatuh cinta, area otak yang terkait dengan penilaian kritis dan pengambilan keputusan yang rasional cenderung kurang aktif. Salah satu area yang paling signifikan adalah korteks prefrontal. Area ini bertanggung jawab atas fungsi eksekutif seperti perencanaan, pengambilan keputusan, dan penilaian risiko.
Penelitian pencitraan otak menunjukkan bahwa pada individu yang sedang jatuh cinta, aktivitas di korteks prefrontal mengalami penurunan. Ini berarti bahwa kemampuan kita untuk mengevaluasi situasi secara objektif, melihat kekurangan pasangan, atau mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan kita bisa jadi terganggu. Inilah mengapa seseorang yang sedang dimabuk cinta mungkin mengabaikan “red flags” atau tanda bahaya yang jelas, atau membuat keputusan impulsif yang mungkin tidak akan mereka lakukan dalam kondisi normal.
Tidak hanya itu, area otak yang terkait dengan emosi negatif, seperti amigdala, juga menunjukkan penurunan aktivitas. Amigdala berperan penting dalam memproses rasa takut dan kecemasan. Ketika aktivitas amigdala berkurang, kita mungkin merasa kurang khawatir atau cemas tentang potensi masalah dalam hubungan, atau bahkan tentang keselamatan diri kita sendiri. Ini bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi, ini memungkinkan kita untuk sepenuhnya membenamkan diri dalam kebahagiaan cinta, tetapi di sisi lain, dapat membuat kita rentan terhadap manipulasi atau keputusan buruk.






