lombokprime.com – Pernahkah kamu merasa canggung atau tidak nyaman saat berada dalam keheningan? Atau mungkin kamu sering bertemu dengan orang yang seolah tak bisa menahan diri untuk tidak menyela pembicaraan, bahkan saat tak ada yang perlu dikatakan? Fenomena orang yang tidak nyaman dengan keheningan ini sebenarnya cukup menarik untuk kita selami lebih jauh, dan jangan salah sangka, keheningan itu sendiri bukanlah sebuah kelemahan, melainkan bisa jadi sumber kekuatan yang seringkali kita lupakan di tengah hiruk pikuk kehidupan.
Kita hidup di dunia yang sangat bising. Dari notifikasi ponsel yang tak henti-hentinya, media sosial yang selalu menuntut perhatian, hingga obrolan tanpa jeda di lingkungan sekitar. Rasanya seperti ada tekanan tak tertulis untuk selalu mengisi setiap celah kosong dengan suara, dengan kata-kata, dengan aktivitas. Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, mengapa banyak dari kita, atau orang-orang di sekitar kita, merasa begitu gelisah saat keheningan tiba? Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa beberapa orang merasa sangat tidak nyaman dengan keheningan, dan bagaimana kita bisa memahami serta menyikapi kecenderungan ini, baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Keheningan: Sebuah Cermin Tak Terlihat
Ketika kita berbicara tentang mengapa seseorang menyela pembicaraan atau merasa gelisah dalam keheningan, kita sebenarnya sedang berbicara tentang sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebiasaan. Keheningan, bagi sebagian orang, adalah sebuah cermin tak terlihat yang memantulkan kembali diri mereka sendiri. Dalam kesunyian, tidak ada pengalih perhatian. Pikiran mulai berkeliaran, dan terkadang, itu adalah pikiran-pikiran yang ingin dihindari.
Ketakutan Akan Pikiran Sendiri
Salah satu alasan utama mengapa seseorang merasa tidak nyaman dengan keheningan adalah ketakutan akan pikiran mereka sendiri. Di tengah kebisingan, mudah sekali untuk menyibukkan diri dan menghindari introspeksi. Namun, ketika keheningan datang, pikiran-pikiran yang selama ini terpendam, baik itu kecemasan, kekhawatiran, penyesalan, atau bahkan hanya sekadar daftar tugas yang belum selesai, bisa muncul ke permukaan dengan sangat jelas. Bagi sebagian orang, menghadapi “suara” dalam kepala mereka sendiri bisa jadi pengalaman yang menakutkan atau tidak nyaman. Mereka mungkin merasa bahwa pikiran-pikiran tersebut terlalu berat untuk ditanggung tanpa adanya gangguan eksternal.
Kebutuhan untuk Mengisi Kekosongan
Manusia adalah makhluk sosial, dan kita seringkali mengasosiasikan interaksi dengan keberadaan dan koneksi. Keheningan, terutama dalam konteks sosial, bisa diartikan sebagai kekosongan atau ketiadaan interaksi. Bagi sebagian orang, ada dorongan kuat untuk mengisi kekosongan tersebut, bahkan jika itu berarti menyela atau berbicara tanpa substansi. Ini bisa jadi karena mereka merasa bertanggung jawab untuk menjaga “aliran” percakapan, atau mereka khawatir jika tidak ada yang bicara, itu menandakan ada yang salah atau hubungan sedang renggang. Ini adalah salah satu bentuk ketidakmampuan mentolerir keheningan yang paling umum.
Mengurai Akar Ketidaknyamanan
Memahami akar ketidaknyamanan terhadap keheningan memerlukan kita untuk melihat lebih jauh dari sekadar kebiasaan. Ada beberapa faktor psikologis dan sosial yang bisa menjadi penyebabnya.
Kecemasan Sosial dan Persepsi Diri
Bagi sebagian orang, keheningan dalam interaksi sosial bisa memicu kecemasan sosial. Mereka mungkin khawatir tentang bagaimana mereka dipersepsikan oleh orang lain jika tidak ada yang mereka katakan. Apakah orang lain akan berpikir mereka membosankan, tidak pintar, atau tidak tertarik? Ketakutan akan penilaian ini mendorong mereka untuk terus berbicara, sebagai upaya untuk menampilkan diri sebaik mungkin, atau setidaknya, untuk tidak terlihat “kosong”. Mereka mungkin merasa bahwa berbicara terus-menerus adalah tanda kecerdasan atau keterlibatan, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.






