Terlalu Logis? Mungkin Sebenarnya Sedang Menekan Emosi

Terlalu Logis? Mungkin Sebenarnya Sedang Menekan Emosi
Terlalu Logis? Mungkin Sebenarnya Sedang Menekan Emosi (www.freepik.com)

lombokprime.com – Pernahkah kamu bertemu seseorang yang seolah selalu punya jawaban logis untuk setiap situasi, bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya butuh sentuhan perasaan? Atau mungkin, kamu sendiri merasa lebih nyaman bersembunyi di balik benteng rasionalitas ketika dihadapkan pada gejolak emosi? Fenomena ketika logika jadi pelarian adalah kondisi menarik di mana seseorang cenderung memproses segala sesuatu murni berdasarkan nalar, seringkali mengesampingkan atau bahkan menekan aspek emosionalnya. Ini bukan berarti rasionalitas itu buruk, justru sangat penting. Namun, ketika ia menjadi satu-satunya filter untuk melihat dunia, ada beberapa ciri emosional yang mungkin tanpa sadar muncul dan bisa memengaruhi kualitas hidup serta hubunganmu. Yuk, kita bedah lebih lanjut!

Mencari Solusi untuk Setiap Masalah Emosional

Bagi mereka yang terlalu rasional, setiap masalah—termasuk masalah hati—dianggap sebagai teka-teki yang harus dipecahkan. Perasaan marah, sedih, atau kecewa seringkali dihadapi dengan analisis mendalam untuk menemukan “akar masalah” dan “solusi terbaik” layaknya sedang mengerjakan proyek ilmiah. Ini bisa jadi melelahkan, karena emosi sejatinya tidak selalu butuh solusi, kadang hanya butuh diakui dan dirasakan. Bayangkan, ketika seorang teman bercerita tentang putus cinta, respons pertamamu mungkin adalah mencari strategi untuk balikan atau mencari pengganti, daripada sekadar mendengarkan dan memvalidasi kesedihannya.

Orang-orang ini mungkin juga kesulitan menerima ketidakpastian. Mereka merasa perlu memiliki kontrol penuh atas segala situasi, dan ketika emosi yang kompleks muncul—yang seringkali tidak bisa dikontrol sepenuhnya—mereka akan mencoba “merapikan”nya dengan kerangka logis. Ini bisa memicu frustrasi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain yang mungkin mengharapkan respons emosional yang berbeda. Proses ini, meskipun niatnya baik untuk mencari kejelasan, justru bisa menjauhkan mereka dari pemahaman emosi yang sebenarnya dan menghambat proses penyembuhan alami yang seringkali datang dari penerimaan, bukan pemecahan.

Sulit Berempati dan Memahami Sudut Pandang Emosional Orang Lain

Salah satu konsekuensi yang paling terlihat dari terlalu mengandalkan logika adalah kesulitan dalam berempati. Memahami perasaan orang lain seringkali membutuhkan lebih dari sekadar penalaran; ia membutuhkan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, menempatkan diri pada posisi mereka secara emosional. Seseorang yang terlalu rasional mungkin akan kesulitan memahami mengapa seseorang bisa bertindak “tidak logis” karena marah atau sedih. Mereka mungkin berkata, “Kenapa sih harus sesedih itu? Kan cuma masalah sepele,” padahal bagi orang lain, masalah tersebut bisa jadi sangat besar secara emosional.

Mereka cenderung memberikan nasihat yang sangat pragmatis, bahkan ketika yang dibutuhkan hanyalah dukungan emosional. Misalnya, saat seseorang menceritakan kekecewaannya karena gagal meraih impian, respons yang muncul mungkin berfokus pada “strategi selanjutnya” atau “apa yang salah dari rencana,” bukannya memberikan validasi atas rasa kecewa yang dirasakan. Akibatnya, orang lain mungkin merasa tidak didengar atau tidak dipahami, yang bisa merenggangkan hubungan. Ini bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena lensa logis mereka membuat mereka kesulitan mengakses dimensi emosional yang dibutuhkan untuk koneksi yang lebih dalam.

Menghindari Konflik Emosional dan Menggunakan Logika sebagai Tameng

Ketika dihadapkan pada konflik yang sarat emosi, orang yang terlalu rasional cenderung menggunakan logika sebagai tameng. Mereka akan mencoba merasionalisasi setiap argumen, mencari celah logis, atau bahkan mengubah topik ke hal-hal yang lebih “faktual” demi menghindari perdebatan yang melibatkan perasaan. Ini bisa membuat percakapan menjadi kering dan dingin, serta menghambat resolusi konflik yang sebenarnya, karena emosi yang terlibat tidak pernah benar-benar diatasi.

Alih-alih mengakui rasa sakit atau kekecewaan, mereka mungkin akan bersembunyi di balik serangkaian fakta dan argumen yang solid. Misalnya, dalam sebuah pertengkaran pasangan, alih-alih mengatakan “Saya merasa terluka,” mereka mungkin akan berbalik mengatakan, “Secara logis, tindakanmu itu tidak efisien dan merugikan.” Ini adalah cara mereka untuk menjaga jarak dari kerentanan emosional dan menghindari menghadapi perasaan tidak nyaman yang muncul dari konflik. Ironisnya, perilaku ini justru bisa memperburuk konflik karena pihak lain merasa emosinya tidak dihargai atau diabaikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *