Suka Name-Dropping dan Memamerkan Koneksi
Salah satu taktik andalan “jenius kosong” adalah name-dropping, yaitu menyebut-nyebut nama orang-orang terkenal atau berpengaruh yang mereka kenal (atau klaim kenal). Tujuannya jelas: untuk memberikan kesan bahwa mereka adalah bagian dari lingkaran elit dan punya koneksi yang luas, sehingga secara tidak langsung membuat mereka tampak lebih kredibel atau “jenius.”
Mereka mungkin akan bilang, “Oh, saya baru saja ngobrol dengan Pak X, CEO perusahaan multinasional itu, dan beliau setuju dengan ide saya…” Padahal, obrolan itu mungkin hanya sekilas, atau bahkan tidak pernah terjadi. Ini adalah cara mereka untuk meminjam validasi dari orang lain, karena mereka tidak memiliki validasi dari diri sendiri. Mereka memamerkan koneksi, bukan kompetensi.
Minim Hasil Konkret dan Selalu Penuh Alasan
Ide-ide brilian yang mereka lontarkan, pada akhirnya, jarang sekali berujung pada hasil nyata. Mereka punya banyak rencana, banyak konsep, banyak gagasan yang terdengar revolusioner, tapi tidak pernah terealisasi. Ketika ditanya mengapa, mereka akan punya seribu satu alasan: kurangnya dukungan, sistem yang tidak memungkinkan, orang lain yang tidak memahami visi mereka, atau bahkan faktor eksternal yang di luar kendali mereka.
Ini menunjukkan kurangnya kemampuan eksekusi dan tanggung jawab. Orang yang benar-benar jenius tahu bahwa ide tanpa eksekusi hanyalah ilusi. Mereka tidak hanya pandai merancang, tapi juga mampu mewujudkan gagasannya menjadi sesuatu yang konkret dan memberikan dampak. “Jenius kosong” hanya berhenti di tahap ide, sibuk mengeluh dan mencari kambing hitam saat idenya tak terwujud.
Pengetahuan Mereka Biasanya Dangkal
Meskipun terdengar seperti tahu segalanya, pengetahuan mereka biasanya sangat dangkal. Mereka mungkin tahu banyak tentang banyak topik, tapi tidak ada satu pun yang mereka kuasai secara mendalam. Ini disebut juga efek Dunning-Kruger, di mana individu dengan pengetahuan atau kemampuan rendah cenderung melebih-lebihkan kompetensi mereka.
Mereka mungkin membaca judul berita, summary buku, atau post di media sosial, lalu merasa sudah menguasai topik tersebut. Saat ditanya detail atau analisis yang lebih mendalam, mereka akan goyah. Mereka pandai mengulang-ulang informasi yang sudah umum, tapi tidak mampu menghasilkan pemikiran orisipil atau analisis yang tajam. Ini seperti laut yang luas, tapi sangat dangkal; terlihat besar, tapi tak ada kedalaman.
Sering Mengubah Topik Saat Terpojok
Ketika percakapan mulai masuk ke area yang mereka tidak kuasai, atau saat mereka merasa terpojok karena argumennya lemah, mereka akan berusaha mengubah topik. Ini adalah mekanisme pertahanan untuk menghindari terungkapnya kekosongan pengetahuan mereka. Mereka akan tiba-tiba menanyakan hal lain, mengalihkan perhatian, atau bahkan melemparkan pertanyaan balik yang tidak relevan.
Mereka menghindari konfrontasi intelektual karena tahu mereka tidak bisa memenangkannya. Ini adalah tanda bahwa mereka tidak nyaman dengan ketidaktahuan mereka sendiri dan lebih memilih untuk menjaga ilusi kepintaran mereka. Mereka menghindari diskusi yang menantang, karena itu akan membuka kelemahan mereka.
Bagaimana Menyikapi “Jenius Kosong” dan Mencegah Kita Jadi Salah Satunya?
Menyikapi “jenius kosong” butuh kebijaksanaan. Tidak perlu langsung melabeli atau menyerang mereka. Cukup amati, evaluasi, dan jangan mudah terkesan oleh klaim-klaim bombastis. Prioritaskan substansi di atas gimmick.
Untuk Diri Sendiri: Jadilah “Jenius Sejati”
Yang terpenting, pastikan kita tidak terjebak dalam perangkap “jenius kosong” ini.






