lombokprime.com – Seringkali, kita tanpa sadar mengeluarkan kalimat sok toleran yang sebenarnya penuh penghakiman, sebuah fenomena yang tampak baik di permukaan namun menusuk hati secara diam-diam. Mungkin kamu pernah mendengarnya, atau bahkan mengatakannya sendiri: “Aku menerima kamu apa adanya, tapi…” Sebuah awal yang manis, diikuti oleh ‘tapi’ yang menghancurkan, meruntuhkan semua klaim penerimaan di awal kalimat. Di era media sosial dan tuntutan untuk selalu tampil suportif, kita sering terjebak dalam jebakan komunikasi semacam ini, yang alih-alih membangun jembatan pengertian, malah menciptakan tembok penghalang yang tak terlihat.
Ketika Toleransi Hanya Sebuah Topeng: Memahami Perbedaan Sejati
Mari kita bedah perbedaan mendasar antara toleransi sejati dan klaim toleransi yang disertai penghakiman. Toleransi sejati adalah tentang menerima orang lain seutuhnya, dengan segala keunikan, perbedaan, dan bahkan “kekurangan” mereka, tanpa syarat dan tanpa embel-embel. Ia lahir dari rasa hormat dan empati, mengakui bahwa setiap individu berhak atas ruang dan pilihan hidupnya sendiri, selama tidak merugikan orang lain. Ini adalah bentuk pengakuan akan martabat dan otonomi individu. Toleransi sejati tidak mencoba mengubah, mengoreksi, atau bahkan sekadar mengomentari pilihan hidup seseorang dengan niat menghakimi. Ini adalah sikap lapang dada yang membiarkan orang lain menjadi diri mereka sendiri, tanpa perlu validasi atau persetujuan kita.
Sebaliknya, kalimat sok toleran adalah kamuflase halus dari ketidaknyamanan atau bahkan penolakan. Ia sering muncul dalam balutan nasihat, keprihatinan, atau bahkan pujian palsu. Frasa seperti “Aku menghargai pendapatmu, tapi…” atau “Aku suka caramu, namun…” adalah contoh klasik bagaimana sebuah pernyataan yang awalnya tampak mendukung, pada akhirnya justru berujung pada penilaian. Ini bukan tentang menghargai perbedaan, melainkan tentang menegaskan batasan atau pandangan pribadi, seringkali dengan implikasi bahwa apa yang orang lain lakukan atau yakini itu “salah” atau “kurang tepat” menurut standar kita. Ini adalah bentuk intoleransi yang paling licik, karena ia menyamarkan penghakiman di balik topeng kepedulian atau penerimaan.
Menjelajahi Contoh-Contoh Kalimat Sok Toleran yang Menyesatkan
Ada beragam bentuk kalimat sok toleran yang sering kita dengar atau bahkan ucapkan. Mereka bisa sangat halus, sehingga kita bahkan tidak menyadari dampaknya. Mari kita gali beberapa di antaranya, agar kita bisa lebih peka dan waspada:
-
“Aku menerima kamu apa adanya, tapi kayaknya kamu harus lebih…” Ini adalah salah satu yang paling umum dan menyakitkan. Kata “tapi” di sini berfungsi sebagai pisau bermata dua. Ia membatalkan klaim penerimaan di awal, dan menggantinya dengan tuntutan untuk perubahan. Seolah-olah penerimaan itu bersyarat, dan hanya berlaku jika orang tersebut memenuhi ekspektasi kita. Ini bukan penerimaan, ini adalah permintaan terselubung untuk menjadi orang lain.
-
“Aku nggak masalah kamu punya keyakinan itu, asal jangan terlalu fanatik ya.” Kalimat ini mengklaim toleransi terhadap keyakinan, namun segera menambahkan batasan yang bersifat menghakimi. Siapa yang berhak menentukan apa itu “terlalu fanatik”? Ini adalah cara untuk mengontrol ekspresi keimanan seseorang, dan secara implisit menyiratkan bahwa keyakinan mereka mungkin “berlebihan” atau “salah”.
-
“Kamu bebas jadi diri sendiri, tapi tolong jangan bikin masalah atau beda sendiri.” Ini adalah bentuk toleransi yang sangat dangkal. Ia mengizinkan “kebebasan” selama kebebasan itu tidak menciptakan ketidaknyamanan bagi si pembicara atau lingkungan sekitar. Ini bukan kebebasan berekspresi, melainkan kebebasan yang dibatasi oleh norma-norma yang ditetapkan oleh pihak yang menghakimi. Ini sama saja dengan mengatakan, “Jadilah dirimu sendiri, asalkan dirimu itu sesuai dengan harapanku.”
-
“Aku ngerti sih kalau kamu capek, tapi bukannya kamu harusnya bisa lebih kuat?” Kalimat ini mungkin terdengar empatik di awal, namun pada akhirnya meniadakan perasaan lelah seseorang dengan tuntutan untuk menjadi “lebih kuat”. Ini adalah bentuk penolakan terhadap emosi yang valid, dan secara tidak langsung menyalahkan individu karena merasa lelah atau rentan.
-
“Aku support kamu kok, tapi kalau bisa jangan terlalu ekstrem ya.” Kata “ekstrem” di sini bisa sangat subjektif dan seringkali digunakan untuk mengerdilkan atau menolak passion atau pilihan hidup seseorang yang mungkin berbeda dari kebanyakan. Ini adalah bentuk penghakiman yang terselubung, mencoba menormalkan apa yang “normal” menurut pandangan si pembicara.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa seringkali, niat baik untuk tampak toleran justru berbalik menjadi bentuk penghakiman yang halus. Penting untuk disadari bahwa kata “tapi” sering menjadi bendera merah dalam konteks ini, karena ia hampir selalu menandakan adanya syarat atau penolakan terselubung terhadap apa yang baru saja diungkapkan.






