Publik tidak pernah mendengar ada pernyataan publik strategis tentang arah pembangunan daerah. Tidak terlihat pula fungsi koordinasi yang intensif dan disertai inisiatif kebijakan. Sementara di sisi lain, pengambilan keputusan terlihat berjalan pasif atau reaktif.
”Pemerintah hanya hadir secara administratif, tapi absen secara visioner dan eksekutif,” ucap Fihir.
Yang terlihat di hadapan publik dalam tiga bulan terakhir kata Fihir adalah pimpinan daerah yang hadir di acara-acara seremonial. Sementara intervensi kebijakan akseleratif terhadap isu-isu penting menyangkut kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan infrastruktur dasar, justru masih sangat minim.
”Itu menandakan betapa Gubernur dan Wakil Gubernur kita tidak memimpin, melainkan hanya menampakkan diri,” tandas Fihir.
Sementara itu, Dewan Pendiri Mi6, Hendra Kusumag menyoroti minimnya perhatian Gubernur dan Wakil Gubernur NTB terhadap isu-isu lingkungan. Tiga bulan memimpin Bumi Gora kata Hendra , harusnya lebih dari cukup bagi kepala daerah jika memang memiliki perhatian terhadap isu lingkungan.
Dalam tiga bulan, kepala daerah bisa menetapkan prioritas dan visi yang jelas soal keberlanjutan. Bisa menginisiasi kebijakan atau program konkret, seperti moratorium izin tambang yang merusak lingkungan, penataan ulang tata ruang, atau kampanye pengurangan sampah. Bisa pula menunjukkan keberpihakan anggaran, misalnya dengan alokasi lebih besar pada program konservasi atau pengelolaan sampah.
“Tapi, kalau ternyata setelah tiga bulan belum ada juga publik melihat langkah nyata, maka bisa jadi ini bukan soal waktu. Tapi murni soal kemauan politik,” kata Hendra Kusumah yang juga Ketua Panitia Diskusi Publik Pojok NTB dan Mi6.
Dia menegaskan, lingkungan adalah fondasi dari semua aspek pembangunan. Tanah, air, udara, hutan, semuanya adalah sumber kehidupan. Jika rusak, maka petani kehilangan lahan subur, nelayan kehilangan tangkapan, warga terkena banjir, kekeringan, dan polusi.
Karena itu kata Hendra, pemimpin yang abai soal ini sedang membiarkan masyarakatnya perlahan-lahan kehilangan hak dasar, yakni hidup yang layak.
“Ketika seorang pemimpin diam atas kerusakan lingkungan, ia sedang memilih berpihak bukan pada rakyat, tapi pada kepentingan jangka pendek yang merusak masa depan,” tutup Hendra Kusumah. ( Red )






