MATARAM : – Mimbar Bebas 100 Hari Pemerintahan Gubernur NTB H. Lalu Muhamad Iqbal dan Wakil Gubernur Hj. Indah Dhamayanti Putri (Iqbal-Dinda) yang diinisiasi Pojok NTB dan Mi6, berlangsung penuh warna, yang Berlangsung di Tuwa Kawa Coffee Roastery, Ahad, 1 Juni 2025 malam.
Mimbar Bebas tersebut menjadi panggung suara hati publik. Ada harapan, ada sorotan, dan ada pula kekhawatiran, sehingga semua disampaikan dengan semangat demokrasi, demi perbaikan di masa depan.
Mimbar Bebas ini dihadiri berbagai elemen, mulai dari anggota parlemen, pimpinan lembaga pemerintahan, pimpinan organisasi, budayawan, aktivis, tokoh muda, dan para pegiat sosial, dimana Mimbar Bebas ini dipandu oleh Abdul Majid dan Ridha Andi Patiroi.
“100 hari Iqbal-Dinda masih sangat pendek untuk mengukur lima tahun kinerjanya ke depan. Namun, 100 hari ini dapat menjadi ruang untuk mengkritisi kebijakannya. Tapi sekali lagi, saya berharap kritik dalam kerangka yang konstruktif dan bukan di luar jalur,” kata Hendra Kusuma, Ketua Panitia, saat didaulat membuka Mimbar Bebas.
Dewan Pendiri Mi6 ini mengingatkan, bahwa 100 hari bukan ukuran final, namun begitu, sangat penting sebagai titik awal evaluasi.
Hal senada juga di ungkapkan Direktur Pojok NTB, Muhammad Fihiruddin, dan menekankan pentingnya menjadikan momentum Mimbar Bebas ini sebagai “kompas” arah kepemimpinan.
“100 hari kepemimpinan Iqbal-Dinda saya harap akan memberikan kemajuan untuk NTB ke depan. Diskusi ini ajang memberikan penilaian terhadap mereka. Semua kita undang, baik relawan maupun bukan. Boleh mengkritisi atau menyanjung, tapi tetap objektif,” tegas Fihiruddin.
Dalam kesempatan tersebut, aktivis muda NTB ini juga menyampaikan penilaiannya yang cukup tajam terhadap kinerja awal pemerintahan Iqbal-Dinda.
“Secara pribadi saya melihat NTB seperti tidak memiliki gubernur dan wakil gubernur. NTB berjalan autopilot. Kita butuh pemimpin yang berani dan tegas mengambil keputusan strategis, bukan hanya bicara ‘akan dan akan’,” katanya.
*Orasi Dr Iwan Harsono*
Usai sambutan dari Hendra dan Fihiruddin, moderator kemudian mendaulat para tokoh yang hadir untuk menyampaikan orasi. Ekonom senior Universitas Mataram NTB Dr Iwan Harsono mengawali pertama kali.
Iwan Harsono menyampaikan kritiknya, lantaran hingga 100 hari pemerintahannya, belum tampak arah kebijakan yang jelas dari pasangan Iqbal-Dinda.
“100 hari adalah waktu untuk membangun trust. Rakyat sudah memberikan kepercayaan melalui visi-misi mereka, tapi sampai hari ini saya belum melihat bagaimana visi-misi itu akan diwujudkan,” ujar Iwan.
Ia juga menilai jargon meritokrasi yang digaungkan pasangan Iqbal-Dinda, selain belum sama sekali terealisasi, Iwan mengkritik, meritoktasi bukanlah program. Namun, kewajiban Iqbal-Dinda yang telah diatur dalam Undang-Undang.
“Meritokrasi itu amanat Undang-Undang, bukan program. Kita butuh aktualisasi, bukan hanya narasi,” tandas ekonom yang menamatkan pendidikan doktoralnya di Australia tersebut.
*Orasi Raden Nuna Abriadi*
Sementara itu, Anggota Komisi III DPRD NTB Raden Nuna Abriadi menilai, masa 100 hari dapat menjadi indikator awal untuk membangun kepercayaan publik.
“Meskipun tidak bisa menjadi acuan utama, tapi ini adalah pijakan penting. Harus ada gebrakan, bukan sekadar seremoni,” kata Nuna.
Politisi PDI Perjuangan ini juga menyoroti ketidaksesuaian data pangan NTB yang disampaikan Gubernur ke pemerintah pusat.
“Katanya 10 sampai 12 ton per hektare, tapi faktanya hanya 6 ton. Ini retorika untuk menyenangkan pusat atau bagaimana? Saya nggak ngerti,” sindirnya.






