lombokprime.com – Pernahkah kamu merasa stres sosial melanda, entah itu karena ekspektasi dari lingkungan, tekanan pertemanan, atau bahkan sekadar dinamika di media sosial? Jangan kaget jika responsmu terhadap stres ini mungkin sedikit berbeda dengan teman lawan jenismu.
Bukan karena struktur otak yang fundamental berbeda, melainkan karena pola adaptasi unik yang terbentuk seiring waktu dan dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, serta lingkungan sosial. Memahami perbedaan ini bisa jadi kunci untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan saling mendukung.
Ketika Tekanan Sosial Datang Menghampiri
Hidup di era modern memang penuh tantangan. Dari urusan pekerjaan, pertemanan, keluarga, hingga ekspektasi diri, semua bisa menjadi pemicu stres sosial. Kita seringkali merasa perlu “tampil sempurna” di mata orang lain, takut dihakimi, atau cemas akan penolakan. Kondisi ini, yang kita sebut stres sosial, bisa memicu berbagai reaksi dalam diri kita, mulai dari kecemasan, perubahan suasana hati, hingga dampak fisik. Uniknya, cara pria dan wanita menghadapi badai emosional ini seringkali menunjukkan perbedaan yang menarik.
Respons Fisiologis: Fight, Flight, Freeze, atau Tend and Befriend?
Secara umum, ketika kita merasa terancam—termasuk ancaman sosial—tubuh kita akan mengaktifkan respons “fight or flight”. Ini adalah mekanisme kuno yang mempersiapkan kita untuk melawan atau melarikan diri dari bahaya. Namun, penelitian menunjukkan bahwa ada respons lain yang lebih sering terlihat pada wanita, yaitu “tend and befriend”.
Tend and Befriend: Dekat dan Peduli
Respons “tend and befriend” lebih sering diamati pada wanita. Ketika menghadapi stres, terutama stres sosial, wanita cenderung mencari dukungan sosial dan mempererat ikatan dengan orang lain. Mereka mungkin lebih aktif berkomunikasi dengan teman, keluarga, atau pasangan untuk berbagi perasaan dan mencari solusi bersama.
Hormon oksitosin, yang dikenal sebagai “hormon cinta” atau “hormon ikatan”, memainkan peran penting dalam respons ini. Oksitosin cenderung lebih banyak dilepaskan pada wanita saat stres, mendorong mereka untuk mencari koneksi dan perlindungan dalam kelompok. Ini bisa jadi warisan evolusi dari peran wanita sebagai pengasuh utama, di mana kolaborasi dan perlindungan kelompok menjadi krusial untuk kelangsungan hidup.
Fight or Flight: Perlawanan atau Penarikan Diri
Di sisi lain, respons “fight or flight” cenderung lebih dominan pada pria. Ketika dihadapkan pada stres sosial, pria mungkin lebih cenderung menunjukkan agresi (fight) atau menarik diri dari situasi (flight). Ini tidak berarti mereka kurang peduli, tetapi mekanisme koping mereka bisa jadi berbeda. Tingginya kadar hormon testosteron pada pria dapat memengaruhi respons ini, membuat mereka lebih cenderung menghadapi masalah secara langsung atau menghindarinya sepenuhnya. Tekanan sosial untuk tampil “kuat” dan “mandiri” juga bisa memperkuat kecenderungan ini, membuat pria merasa harus menyelesaikan masalah sendiri tanpa bantuan.
Perbedaan dalam Ekspresi Emosi dan Pencarian Dukungan
Selain respons fisiologis, cara pria dan wanita mengekspresikan emosi dan mencari dukungan juga bervariasi. Ini bukan berarti salah satunya lebih baik, melainkan menunjukkan keragaman cara kita menghadapi dunia.
Ekspresi Emosi Wanita: Lebih Terbuka dan Berbagi
Secara umum, wanita cenderung lebih terbuka dalam mengekspresikan emosi, termasuk saat merasa stres atau cemas. Mereka mungkin lebih mudah menangis, bercerita tentang perasaan mereka, atau mencari validasi dari orang lain. Hal ini sejalan dengan pola adaptasi “tend and befriend” yang mendorong koneksi sosial. Budaya juga berperan besar di sini; wanita seringkali didorong untuk menjadi lebih ekspresif secara emosional dan menunjukkan empati. Kemampuan ini seringkali membantu mereka memproses stres dan mendapatkan dukungan yang diperlukan.