lombokprime.com – Seringkali, kita menyalahkan diri sendiri karena boros, berpikir bahwa kita tidak punya cukup disiplin atau kemauan keras. Padahal, akar masalahnya bisa jauh lebih dalam. Boros seringkali adalah pelampiasan emosi yang tidak tersalurkan. Saat kita merasa stres, bosan, sedih, atau bahkan terlalu bahagia, belanja bisa menjadi “obat” instan yang memberikan kepuasan sesaat. Ini seperti saat kita lapar dan langsung mencari makanan, hanya saja “lapar” di sini adalah lapar emosi.
Pernahkah kamu merasa ingin membeli sesuatu setelah hari yang melelahkan di kantor? Atau mungkin, belanja online saat merasa kesepian di malam hari? Itulah contoh bagaimana emosi memengaruhi keputusan finansial kita. Kepuasan yang didapat dari membeli sesuatu, meskipun singkat, bisa terasa sangat nyata dan adiktif. Otak kita melepaskan dopamin, zat kimia yang membuat kita merasa senang, dan ini menciptakan siklus yang sulit diputus.
Selain itu, tekanan sosial juga punya peran besar. Melihat teman-teman punya barang terbaru, pergi liburan mewah, atau sering makan di tempat hits bisa memicu keinginan untuk tidak ketinggalan. FOMO (Fear Of Missing Out) bukan hanya soal acara sosial, tapi juga tentang gaya hidup. Kita ingin diakui, ingin terlihat sukses, dan terkadang, itu diterjemahkan ke dalam bentuk pengeluaran yang sebenarnya tidak kita butuhkan atau mampu.
Kenali Pemicu Emosional di Balik Kebiasaan Boros
Langkah pertama untuk menjinakkan kebiasaan boros adalah dengan mengenali pemicunya. Ini butuh sedikit introspeksi dan kejujuran pada diri sendiri.
Stres dan Kecemasan: Mencari Pelampiasan Instan
Saat stres melanda, tubuh dan pikiran kita mencari cara untuk meredakannya. Belanja bisa menjadi salah satu mekanisme koping yang paling mudah dijangkau. Sensasi mencari, membandingkan, dan akhirnya memiliki barang baru bisa mengalihkan perhatian dari sumber stres kita, meskipun hanya untuk sementara. Setelah euforia belanja mereda, stres dan kekhawatiran bisa kembali, bahkan ditambah dengan rasa bersalah karena pengeluaran yang tidak perlu. Ini adalah lingkaran setan yang perlu dipecah.
Bosan dan Kesepian: Mengisi Kekosongan dengan Barang
Rasa bosan atau kesepian seringkali mendorong kita untuk mencari aktivitas yang bisa mengisi waktu atau kekosongan emosional. Belanja online 24/7 telah menjadi sahabat bagi banyak orang yang merasa bosan di rumah. Menjelajahi toko online, menambahkan barang ke keranjang, dan menekan tombol “beli” bisa memberikan sensasi kegembiraan dan tujuan yang singkat. Namun, seperti halnya stres, perasaan ini akan kembali setelah paket datang dan kesenangan awal memudar.
Kesenangan dan Euforia: Merayakan Berlebihan
Tidak semua pengeluaran impulsif berasal dari emosi negatif. Kadang, saat kita merasa sangat senang atau merayakan sesuatu, kita cenderung lebih longgar dalam hal keuangan. Misalnya, setelah mencapai target pekerjaan, kita mungkin ingin “memberi hadiah” pada diri sendiri dengan membeli barang mewah atau makan di restoran mahal. Meskipun merayakan kesuksesan itu penting, melakukannya secara berlebihan bisa mengganggu kesehatan finansial jangka panjang. Penting untuk menemukan keseimbangan antara penghargaan diri dan tanggung jawab finansial.
Strategi Menjinakkan Emosi dan Mengendalikan Keuangan
Setelah mengenali pemicunya, sekarang saatnya untuk mengambil tindakan. Ini bukan tentang membatasi diri secara ekstrem, tetapi tentang membangun kebiasaan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Jeda Sejenak: Beri Waktu untuk Berpikir
Salah satu strategi paling efektif adalah menerapkan aturan “jeda 24 jam” atau bahkan lebih lama. Ketika kamu merasa dorongan untuk membeli sesuatu yang tidak direncanakan, tunda keputusan itu. Beri dirimu waktu minimal 24 jam untuk memikirkannya. Selama jeda ini, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah aku benar-benar membutuhkan ini? Apakah ini akan menambah nilai dalam hidupku? Atau ini hanya pelampiasan emosi sesaat?” Seringkali, keinginan untuk membeli akan mereda setelah beberapa jam, dan kamu bisa menghindari penyesalan di kemudian hari. Ini adalah latihan mindfulness finansial yang ampuh.






