lombokprime.com – Fenomena gaji kelas menengah yang terasa kurang, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar, bukanlah isapan jempol belaka. Ini adalah realita yang dihadapi oleh banyak individu dan keluarga di Indonesia, di mana angka nominal penghasilan yang dulu dianggap “cukup”, kini seolah tak mampu lagi menopang gaya hidup layak. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa gaji yang terlihat “besar” di atas kertas, justru terasa kecil di dompet? Mari kita telusuri lebih dalam.
Realita “Kelas Menengah” yang Semakin Membingungkan
Secara tradisional, definisi kelas menengah seringkali dikaitkan dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, memiliki tabungan, dan sesekali menikmati kemewahan. Namun, di era sekarang, garis definisi ini semakin buram. Angka gaji yang dianggap “kelas menengah” di kota besar seperti Jakarta, bisa jadi sangat berbeda dengan di kota-kota lain. Bahkan, di dalam satu kota pun, standar hidup bisa sangat bervariasi. Misalnya, jika dulu gaji Rp 10 juta per bulan sudah terbilang sangat baik, kini angka tersebut mungkin hanya cukup untuk membayar sewa apartemen kecil, cicilan kendaraan, dan biaya makan sehari-hari, tanpa menyisakan banyak untuk tabungan atau investasi. Ini bukan tentang besaran angka semata, melainkan tentang daya beli gaji yang kian tergerus.
Hal ini memunculkan sebuah paradoks: banyak orang yang secara statistik masuk kategori “kelas menengah” berdasarkan penghasilan, namun secara finansial merasa seperti sedang berjuang keras setiap bulannya. Mereka mungkin tidak lagi dikategorikan sebagai “miskin”, tetapi juga jauh dari kata “kaya”. Mereka terjebak di tengah, di mana pendapatan meningkat, namun biaya hidup juga merokah lebih cepat. Ini adalah situasi yang memicu kecemasan finansial dan pertanyaan besar: apakah definisi kelas menengah perlu ditinjau ulang?
Mengapa Gaji Terasa Kecil Meski Nominalnya Lumayan?
Ada beberapa faktor kompleks yang berkontribusi pada fenomena ini, yang seringkali tidak disadari atau diabaikan. Memahami akar permasalahannya adalah langkah pertama untuk menemukan solusi.
1. Inflasi yang “Tak Terlihat” dalam Keseharian
Kita sering mendengar istilah inflasi di berita, tetapi dampaknya kadang terasa abstrak. Padahal, inflasi adalah salah satu “pemakan” terbesar daya beli gaji kita. Harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, daging, dan sayur mayur terus merangkak naik dari waktu ke waktu. Begitu pula dengan biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, dan transportasi. Kenaikan harga ini terjadi secara gradual, sehingga kita mungkin tidak langsung merasakannya sebagai lonjakan drastis, namun perlahan-lahan mengikis kemampuan gaji kita untuk membeli barang dan jasa yang sama.
Selain itu, ada juga inflasi “gaya hidup”. Dengan kemajuan teknologi dan media sosial, kita semakin terpapar pada berbagai produk dan layanan baru yang menarik. Dulu, mungkin hiburan cukup dengan menonton TV di rumah. Sekarang, ada streaming service berbayar, tiket konser, traveling, atau hangout di kafe kekinian yang seolah menjadi standar baru. Ini bukan kebutuhan dasar, tetapi telah menjadi bagian dari ekspektasi gaya hidup yang secara tidak langsung meningkatkan pengeluaran kita.
2. Biaya Hidup di Perkotaan yang Melambung Tinggi
Bagi sebagian besar pekerja “kelas menengah”, pusat-pusat ekonomi seperti kota-kota besar menjadi tujuan utama untuk mencari nafkah. Namun, ada harga yang harus dibayar untuk tinggal di sana. Biaya sewa tempat tinggal, baik itu apartemen, rumah kontrakan, atau kos-kosan, bisa jadi menghabiskan lebih dari sepertiga gaji bulanan. Belum lagi biaya transportasi, yang jika menggunakan kendaraan pribadi, akan ditambah dengan biaya bensin, parkir, tol, dan perawatan. Jika menggunakan transportasi umum, ada juga biaya harian yang jika diakumulasikan bisa cukup besar.
Di kota-kota besar, biaya makan pun cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Restoran, cafe, dan supermarket di pusat kota mematok harga yang lebih mahal. Semua ini secara kumulatif menggerus sisa gaji, meninggalkan sedikit ruang untuk kebutuhan lain atau tabungan.






