Bekerja Sampai Lelah Bukan Lagi Prestasi, Kata Gen Z!

Bekerja Sampai Lelah Bukan Lagi Prestasi, Kata Gen Z!
Bekerja Sampai Lelah Bukan Lagi Prestasi, Kata Gen Z! (www.freepik.com)

Fleksibilitas Adalah Kunci: Mengapa Gen Z Mendambakan Cara Kerja Hybrid dan Remote?

Salah satu tuntutan paling menonjol dari Gen Z dalam dunia kerja adalah fleksibilitas. Mereka tumbuh di era digital, di mana konektivitas memungkinkan pekerjaan dilakukan dari mana saja. Konsep kantor fisik sebagai satu-satunya tempat untuk bekerja terasa usang bagi mereka. Mereka melihat nilai besar dalam kerja hybrid atau remote karena memberikan kebebasan untuk mengatur jadwal, mengoptimalkan lingkungan kerja pribadi, dan menghemat waktu serta biaya perjalanan.

Fleksibilitas ini bukan semata-mata tentang kenyamanan, tetapi juga tentang produktivitas. Beberapa orang bekerja paling baik di pagi hari, yang lain di malam hari. Ada yang butuh suasana tenang, ada yang lebih suka hiruk pikuk kafe. Dengan fleksibilitas, Gen Z bisa memilih kondisi kerja yang paling mendukung performa terbaik mereka. Mereka menyadari bahwa batasan ruang dan waktu yang kaku justru bisa menghambat kreativitas dan efisiensi. Ini juga memungkinkan mereka untuk mengintegrasikan pekerjaan dengan kehidupan pribadi tanpa harus mengorbankan salah satu. Misalnya, mereka bisa meluangkan waktu untuk berolahraga di siang hari atau menghadiri janji dokter tanpa merasa bersalah karena meninggalkan kantor.

Mencari Makna dan Dampak: Lebih Dari Sekadar Gaji

Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mungkin memprioritaskan stabilitas finansial di atas segalanya, Gen Z cenderung mencari pekerjaan yang bermakna dan berdampak positif. Gaji memang penting, namun bukan satu-satunya faktor penentu. Mereka ingin merasa bahwa pekerjaan mereka memberikan kontribusi, selaras dengan nilai-nilai pribadi mereka, dan memungkinkan mereka untuk terus belajar dan berkembang.

Mereka adalah generasi yang sangat sadar akan isu-isu sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki visi dan misi yang jelas, serta praktik bisnis yang etis, akan lebih menarik bagi mereka. Mereka tidak segan untuk meninggalkan pekerjaan dengan gaji tinggi jika merasa tidak ada koneksi emosional atau moral dengan visi perusahaan. Ini menunjukkan bahwa mereka memandang pekerjaan sebagai bagian integral dari identitas dan tujuan hidup mereka, bukan sekadar alat untuk mendapatkan penghasilan. Mereka ingin melihat dampak nyata dari usaha mereka, baik itu pada komunitas, lingkungan, atau perkembangan diri mereka sendiri.

Prioritas Kesehatan Mental dan Fisik: Tolak Budaya “Hustle”

Salah satu perbedaan paling mencolok antara Gen Z dan generasi sebelumnya adalah prioritas mereka terhadap kesehatan mental dan fisik. Mereka secara terbuka membahas isu-isu seperti kecemasan, depresi, dan burnout. Mereka menolak budaya “hustle” yang mengagungkan kerja berlebihan dan mengabaikan kesejahteraan pribadi.

Bagi Gen Z, menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Mereka tidak ragu untuk mengambil cuti sakit mental, mencari bantuan profesional, atau bahkan menolak pekerjaan yang mereka anggap terlalu stres dan tidak sehat. Mereka sadar bahwa tubuh dan pikiran yang sehat adalah fondasi untuk produktivitas jangka panjang. Ini bukan tentang kemanjaan, melainkan tentang kesadaran diri dan strategi bertahan hidup di dunia yang semakin kompetitif dan menuntut. Mereka memahami bahwa jika kesehatan mental dan fisik terganggu, produktivitas akan menurun drastis. Oleh karena itu, berinvestasi pada well-being adalah investasi pada performa kerja itu sendiri.

Mereka juga melihat batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan profesional. Saat jam kerja usai, mereka benar-benar berhenti bekerja, mematikan notifikasi, dan fokus pada hal lain. Ini adalah bentuk disiplin diri untuk mencegah burnout dan memastikan mereka punya energi yang cukup untuk esok hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *