Bukan Gengsi, Ini Alasan Jujur Mengapa Gen Z Suka Ghosting Diri Sendiri

Bukan Gengsi, Ini Alasan Jujur Mengapa Gen Z Suka Ghosting Diri Sendiri
Bukan Gengsi, Ini Alasan Jujur Mengapa Gen Z Suka Ghosting Diri Sendiri (www.freepik.com)

Fenomena ghosting diri sendiri atau menarik diri secara sosial kini menjadi salah satu masalah emosional yang paling banyak dialami oleh Generasi Z. Mereka yang dikenal digital-savvy, kritis, dan terbuka pada isu mental health, justru menghadapi tantangan baru: menjadi “invisible” di dunia nyata. Di balik layar ponsel, banyak dari mereka perlahan menjauh dari interaksi sosial dan memilih diam di ruang aman mereka sendiri.

Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, tapi cerminan kompleks dari tekanan hidup modern, media sosial, hingga luka yang belum sembuh sejak pandemi COVID-19.

Mengapa Gen Z Menarik Diri dari Dunia Sosial?

Tekanan Media Sosial dan FOMO yang Melelahkan

Media sosial menjadi panggung yang menuntut kesempurnaan. Setiap unggahan seolah berlomba menunjukkan siapa yang paling bahagia, paling sukses, atau paling dicintai. Akibatnya, banyak Gen Z yang merasa hidupnya “kurang menarik”.
Fenomena FOMO (fear of missing out) membuat mereka terus membandingkan diri dengan orang lain. Saat rasa minder dan cemas mulai menguasai, pilihan paling aman bagi sebagian dari mereka adalah… menghilang. Tidak membuka pesan, tidak membalas chat, bahkan tidak ingin dilihat online.
Bukan karena mereka tak peduli—justru karena terlalu peduli.

Kesehatan Mental yang Rapuh tapi Terpendam

Tingkat kecemasan dan depresi di kalangan Gen Z meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Tekanan akademik, tuntutan ekonomi, hingga rasa tidak aman tentang masa depan, semuanya menumpuk dalam kepala mereka.
Alih-alih mencari bantuan, sebagian memilih melakukan self-ghosting—menarik diri agar tidak terlihat “lemah”. Mereka ingin istirahat dari dunia yang terasa terlalu bising, tanpa harus menjelaskan apa pun kepada siapa pun.

Dampak Panjang Pandemi COVID-19

Pandemi bukan hanya soal virus, tapi juga kehilangan kemampuan bersosialisasi. Selama dua tahun, interaksi manusia digantikan layar dan notifikasi. Saat dunia kembali normal, sebagian Gen Z justru merasa canggung dan tidak tahu bagaimana berinteraksi secara langsung.
Kondisi ini melahirkan isolasi sosial Gen Z, di mana keheningan terasa lebih aman daripada tatap muka yang penuh ekspektasi.

Kebutuhan Akan Privasi dan Keaslian

Berbeda dengan stereotip bahwa Gen Z ingin selalu “dilihat”, justru banyak di antara mereka yang kini memilih menjadi invisible secara sadar. Mereka ingin menjaga privasi, mengendalikan narasi hidup, dan menjauh dari ekspektasi sosial.
Gen Z tidak ingin hidupnya jadi konsumsi publik. Mereka haus akan koneksi yang autentik dan hangat—bukan validasi dari like dan komentar.

Ciri-Ciri “Invisible Syndrome” di Kalangan Gen Z

Fenomena menarik diri ini menciptakan perilaku khas yang sering terlihat dalam keseharian Gen Z:

Ekspresi Datar dan Dingin

Istilah “Gen Z stare” menjadi viral di media sosial—wajah datar tanpa ekspresi yang sulit ditebak. Di balik tatapan kosong itu, sering tersembunyi kelelahan emosional dan usaha untuk menjaga diri dari penilaian orang lain.

Enggan Terlibat dalam Small Talk

Bagi banyak Gen Z, obrolan ringan terasa tidak tulus. Mereka lebih suka percakapan mendalam yang bermakna. Akibatnya, mereka bisa tampak dingin atau sulit didekati, padahal sebenarnya hanya lelah berpura-pura nyaman.

Terlalu Profesional dan Dingin di Tempat Kerja

Menariknya, beberapa Gen Z justru berusaha tampil “sempurna” di tempat kerja—profesional, efisien, tapi tertutup. Mereka tidak ingin masalah pribadi tercium rekan kerja. Ini bentuk ghosting diri sendiri yang halus: hadir secara fisik, tapi tidak benar-benar “ada”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *