lombokprime.com – Dunia terus berputar, dan bersamaan dengan itu, nilai-nilai serta prioritas hidup juga ikut bergeser. Apa yang dulu dianggap “wajib” oleh generasi sebelumnya, kini seringkali dipandang sebagai “beban” atau bahkan hal yang bisa dikesampingkan oleh generasi muda. Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan cerminan dari perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang begitu cepat. Kita akan menjelajahi beberapa aspek menarik dari pergeseran ini, memahami mengapa ada hal-hal yang dulunya fundamental, kini justru ditinggalkan.
Kepemilikan Rumah: Dulu Impian, Kini Beban Finansial?
Membeli rumah impian adalah cita-cita yang hampir mutlak bagi generasi sebelumnya. Orang tua kita, kakek-nenek kita, bahkan mungkin sudah mempersiapkan diri untuk memiliki rumah sejak usia muda. Mereka menganggapnya sebagai simbol kemapanan, keamanan, dan investasi masa depan. Memiliki rumah adalah tanda bahwa seseorang telah mencapai tingkat stabilitas tertentu dalam hidup.
Namun, coba tanyakan pada teman-teman Gen Z atau Milenialmu. Apakah kepemilikan rumah masih menjadi prioritas utama? Jawabannya mungkin beragam, tapi tak sedikit yang merasa bahwa membeli rumah di zaman sekarang adalah beban yang terlalu berat. Harga properti yang meroket, ditambah dengan gaji yang mungkin tidak sebanding, membuat mimpi ini terasa semakin jauh. Alih-alih terbebani dengan cicilan puluhan tahun, banyak yang memilih untuk menyewa, menikmati fleksibilitas untuk berpindah-pindah, atau mengalihkan dana untuk pengalaman lain seperti traveling atau pendidikan. Bagi mereka, pengalaman lebih berharga daripada kepemilikan. Mereka lebih suka hidup ringan, tanpa terikat pada satu lokasi atau tanggungan finansial yang besar.
Pernikahan dan Anak: Antara Tradisi dan Pilihan Hidup Modern
Jika dulu usia 20-an akhir atau awal 30-an adalah waktu yang ideal untuk menikah dan memiliki anak, kini batas usia tersebut semakin fleksibel. Bagi generasi yang lebih tua, pernikahan seringkali dianggap sebagai fase alami dalam hidup, penanda kedewasaan, dan bagian dari tuntutan sosial. “Kapan nikah?” adalah pertanyaan wajib di setiap kumpul keluarga.
Namun, generasi muda saat ini cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan besar seperti pernikahan dan memiliki anak. Mereka ingin memastikan kesiapan finansial, mental, dan emosional yang matang sebelum melangkah ke jenjang tersebut. Banyak yang memilih untuk fokus pada karier, pendidikan, atau pengembangan diri terlebih dahulu. Konsep childfree atau menunda memiliki anak menjadi pilihan yang semakin diterima. Tekanan sosial untuk segera menikah dan punya anak kini terasa jauh lebih longgar, memberi ruang bagi individu untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri, tanpa merasa terbebani oleh ekspektasi tradisional. Ini bukan berarti mereka tidak ingin menikah atau memiliki anak, melainkan mereka ingin melakukannya dengan kesadaran penuh, bukan karena tuntutan semata.
Pendidikan Formal Tinggi: Ijazah Bukan Segalanya?
Dulu, gelar sarjana dari universitas ternama adalah tiket emas menuju kesuksesan. Semakin tinggi pendidikan formal, semakin besar peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan masa depan yang cerah. Orang tua rela banting tulang demi menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin.
Namun, di era digital ini, lanskap pendidikan dan karier telah banyak berubah. Meskipun pendidikan formal tetap penting, relevansinya tidak lagi mutlak. Banyak perusahaan kini lebih melihat pada skill, pengalaman, dan portofolio daripada sekadar gelar. Kursus singkat daring, bootcamp, sertifikasi profesional, atau bahkan belajar otodidak lewat internet, bisa memberikan skill yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Generasi muda mulai menyadari bahwa investasi waktu dan uang untuk gelar yang belum tentu relevan bisa menjadi beban. Mereka lebih memilih jalur pendidikan yang lebih fleksibel, cepat, dan terarah pada skill yang spesifik, yang langsung bisa diaplikasikan di dunia kerja. Ijazah bukan lagi satu-satunya jaminan kesuksesan.






