Gen Z Ogah Lakukan Ini, Padahal Dulu Wajib Dikuasai!

Gen Z Ogah Lakukan Ini, Padahal Dulu Wajib Dikuasai!
Gen Z Ogah Lakukan Ini, Padahal Dulu Wajib Dikuasai! (www.freepik.com)

lombokprime.com – Pernahkah kamu merasa ada jurang pemisah antara caramu melakukan sesuatu dengan cara anak muda zaman sekarang? Jika ya, mungkin kamu sedang menyaksikan fenomena menarik di mana keterampilan jadul yang kini dianggap aneh oleh Gen Z dulunya adalah hal yang sangat esensial dan lumrah. Kita hidup di era serba cepat, di mana teknologi menjadi napas sehari-hari. Berbagai kemudahan yang ditawarkan gawai pintar dan internet membuat banyak keahlian yang dulu wajib dimiliki kini terasa kuno, bahkan asing bagi generasi digital-native. Tapi, benarkah semua kemajuan ini hanya membawa dampak positif? Atau ada sesuatu yang hilang di tengah hiruk pikuk inovasi?

Artikel ini akan mengajakmu menyelami dunia keterampilan yang mungkin sudah terpinggirkan, namun sesungguhnya menyimpan nilai-nilai penting yang patut direnungkan kembali. Kita akan melihat bagaimana beberapa keahlian ini bukan hanya sekadar “cara lama”, melainkan fondasi penting yang membentuk karakter, kemandirian, dan ketahanan seseorang. Siapa tahu, setelah membaca ini, kamu jadi tertarik untuk menghidupkan kembali beberapa di antaranya!

Mengapa Keterampilan Ini Terasa Aneh Bagi Gen Z?

Generasi Z, lahir dan besar di tengah derasnya arus informasi dan kemudahan teknologi, memiliki perspektif yang berbeda tentang banyak hal. Mereka terbiasa dengan akses instan, informasi yang bisa dicari dalam hitungan detik, dan solusi praktis untuk hampir setiap masalah. Konsep menunggu, berusaha secara fisik, atau memecahkan masalah tanpa bantuan internet mungkin terasa asing bagi mereka.

Dampaknya, banyak keahlian yang membutuhkan kesabaran, ketelitian manual, atau pemahaman mendalam tentang proses non-digital menjadi kurang relevan di mata mereka. Misalnya, mengapa harus belajar membaca peta kertas jika Google Maps selalu ada di genggaman? Mengapa harus menulis surat tangan jika pesan instan lebih cepat sampai? Pergeseran prioritas ini, meski logis dalam konteang modern, terkadang membuat kita kehilangan sentuhan dengan akar-akar kemandirian dan kreativitas yang dulu begitu diutamakan.

1. Menulis Surat Tangan: Lebih dari Sekadar Tulisan di Kertas

Coba bayangkan, di era sebelum email dan pesan instan, bagaimana cara orang berkomunikasi jarak jauh? Tentu saja, dengan menulis surat tangan. Keterampilan ini, yang kini mungkin dianggap kuno dan memakan waktu, dulunya adalah tulang punggung komunikasi pribadi dan resmi. Bagi Gen Z, mengirim pesan teks atau email adalah hal yang lumrah, cepat, dan efisien. Namun, menulis surat tangan bukan hanya tentang menyampaikan informasi. Ada sentuhan personal, sebuah ekspresi ketulusan yang terkandung dalam setiap guratan tinta.

Menulis surat tangan mengajarkan kesabaran, ketelitian dalam memilih kata, dan keindahan dalam berekspresi. Prosesnya membutuhkan fokus penuh, mulai dari pemilihan kertas, pena, hingga penyusunan kalimat yang runtut dan bermakna. Lebih dari itu, menerima surat tangan dari seseorang adalah pengalaman yang jauh berbeda dibandingkan membaca pesan digital. Ada nilai emosional yang kuat, sebuah bukti bahwa seseorang telah meluangkan waktu dan usahanya secara personal. Bahkan, sebuah studi tahun 2017 yang diterbitkan di Psychological Science menemukan bahwa menulis tangan dapat meningkatkan kemampuan memori dan pemahaman konseptual. Ini menunjukkan bahwa ada manfaat kognitif yang mungkin terlewatkan di era serba ketik ini.

2. Membaca Peta Kertas dan Menemukan Arah Tanpa GPS: Petualangan Sejati

Membaca peta kertas mungkin terdengar seperti adegan dari film petualangan lama bagi banyak Gen Z. Di masa lalu, sebelum GPS menjadi standar di setiap ponsel, kemampuan membaca peta kertas dan menemukan arah secara mandiri adalah keahlian yang sangat vital. Liburan keluarga, perjalanan bisnis, atau bahkan sekadar mencari alamat baru, semuanya bergantung pada selembar kertas besar dengan garis-garis dan simbol rumit.

Bagi generasi yang terbiasa dengan navigasi suara dan tampilan real-time di Google Maps, ide menafsirkan kontur, legenda, dan skala peta kertas bisa jadi sangat membingungkan. Namun, kemampuan ini melatih orientasi ruang, pemikiran logis, dan perencanaan. Kamu harus memvisualisasikan jalur, memperkirakan jarak, dan mengidentifikasi landmark. Ini bukan sekadar mengikuti instruksi, melainkan memahami lingkungan di sekitarmu. Keahlian ini juga menumbuhkan kemandirian dan rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan di luar zona nyaman digital. Di tengah laporan terbaru bahwa ketergantungan pada GPS dapat mengurangi kemampuan navigasi alami otak, mengasah kembali keterampilan ini bisa jadi cara yang bagus untuk menjaga otak tetap aktif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *