lombokprime.com – Mengapa Gen Z terlihat kasar? Pertanyaan ini sering muncul seiring dengan makin dominannya generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an ini di berbagai lini kehidupan. Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan norma sosial, gaya komunikasi setiap generasi pun ikut berevolusi. Apa yang bagi satu generasi dianggap wajar atau bahkan sopan, bisa jadi diinterpretasikan berbeda oleh generasi lain. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Gen Z sering dianggap “kasar” atau “tidak sopan” dan bagaimana sebenarnya mereka menerapkan cara unik untuk menjaga batasan pribadi mereka.
Memahami Perspektif Gen Z
Untuk benar-benar memahami mengapa Gen Z bertindak demikian, kita perlu mencoba melihat dunia dari kacamata mereka. Gen Z adalah generasi digital-native pertama, yang berarti mereka tumbuh besar dengan internet, media sosial, dan akses informasi yang tak terbatas. Lingkungan ini membentuk cara mereka berinteraksi, berkomunikasi, dan bahkan berpikir.
Konteks Digital dan Komunikasi Langsung
Gen Z terbiasa dengan komunikasi yang cepat, ringkas, dan seringkali tanpa basa-basi melalui platform digital. Pesan teks, chat, dan komentar di media sosial cenderung langsung ke intinya. Hal ini tentu berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih terbiasa dengan percakapan tatap muka, telepon, atau surat, yang seringkali melibatkan pendahuluan dan basa-basi. Ketika kebiasaan komunikasi digital ini dibawa ke dunia nyata, terkadang bisa disalahartikan sebagai ketidaksopanan atau kekasaran.
Batasan Diri dan Kesejahteraan Mental: Prioritas Utama Gen Z
Salah satu aspek paling penting yang membentuk perilaku Gen Z adalah fokus mereka yang kuat pada kesejahteraan mental dan menjaga batasan diri. Generasi ini sangat sadar akan pentingnya kesehatan mental, jauh lebih dari generasi sebelumnya. Mereka tidak segan untuk membicarakan isu-isu seperti kecemasan, depresi, atau burnout. Ini berdampak langsung pada cara mereka berinteraksi.
Berani Menolak dan Mengatakan “Tidak”
Gen Z cenderung lebih berani untuk mengatakan “tidak” jika suatu hal dirasa tidak sesuai dengan nilai atau batasan pribadi mereka. Jika generasi sebelumnya mungkin merasa tidak enak untuk menolak permintaan, Gen Z lebih memilih untuk menjaga diri sendiri, bahkan jika itu berarti harus tampak “tidak enak” atau “kasar” di mata orang lain. Ini adalah bentuk perlindungan diri yang sering disalahpahami. Mereka tidak bermaksud kasar, tapi mereka sedang memprioritaskan batasan pribadi mereka.
Kejujuran yang Terkadang Menyakitkan
Dalam upaya menjaga batasan dan mengedepankan otentisitas, Gen Z seringkali sangat jujur dan transparan. Mereka cenderung tidak suka basa-basi atau menyembunyikan perasaan mereka. Kejujuran yang blak-blakan ini, meskipun niatnya baik untuk menghindari kesalahpahaman atau menjaga integritas diri, terkadang bisa terdengar tajam atau tidak peka bagi mereka yang tidak terbiasa. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa gaya komunikasi langsung ini bisa menyakiti perasaan orang lain, bukan karena niat jahat, melainkan karena mereka terbiasa mengungkapkan segalanya secara terbuka.
Peran Media Sosial dalam Pembentukan Persepsi
Media sosial adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memungkinkan Gen Z untuk terhubung dan berekspresi. Di sisi lain, ia juga menjadi panggung di mana kesalahpahaman bisa dengan mudah terjadi.
Budaya Peringkasan dan Cancel Culture
Di media sosial, informasi disampaikan dalam format yang ringkas, seringkali melalui meme, tweet singkat, atau video pendek. Ini membentuk kebiasaan berpikir dan berkomunikasi yang sangat ringkas, kadang mengabaikan nuansa atau konteks yang lebih luas. Selain itu, fenomena cancel culture, di mana seseorang atau sesuatu bisa “dibatalkan” karena dianggap melanggar norma sosial atau etika, juga membuat Gen Z lebih hati-hati namun juga lebih vokal dalam menyatakan pendapat atau kritik. Mereka cenderung cepat menanggapi apa yang mereka anggap sebagai ketidakadilan atau pelanggaran, yang bagi sebagian orang mungkin terlihat seperti serangan atau kekasaran.






