Cinta Itu Omong Kosong, Kalau Ini Nggak Ada di Pernikahan

Cinta Itu Omong Kosong, Kalau Ini Nggak Ada di Pernikahan
Cinta Itu Omong Kosong, Kalau Ini Nggak Ada di Pernikahan (www.freepik.com)

lombokprime.com –Apakah benar cinta cukup untuk mempertahankan sebuah rumah tangga? Banyak dari kita tumbuh besar dengan narasi romantis yang mengagung-agungkan kekuatan cinta sebagai satu-satunya penopang hubungan. Film, lagu, dan cerita dongeng kerap kali menggambarkan bahwa selama ada cinta, segala rintangan akan teratasi. Namun, dalam realitas kehidupan berumah tangga, mitos ini justru seringkali menjadi jebakan yang dapat merusak fondasi kebahagiaan. Jika kita hanya mengandalkan gelora asmara di awal pernikahan, tanpa disadari kita sedang membangun di atas pasir yang mudah tergerus ombak.

Mari kita jujur pada diri sendiri: cinta memang fundamental, ia adalah bahan bakar awal yang menyulut api asmara dan keinginan untuk bersama. Akan tetapi, rumah tangga bukanlah sekadar kumpulan perasaan menggebu. Ia adalah sebuah kapal besar yang harus dikemudikan melewati badai, gelombang, bahkan terkadang lautan yang tenang namun penuh tantangan tak terduga. Menganggap cinta sebagai satu-satunya tiket menuju kebahagiaan abadi dalam pernikahan adalah ilusi yang berbahaya, yang seringkali membuat pasangan lengah dan tidak mempersiapkan diri menghadapi realitas yang lebih kompleks.

Mengapa Anggapan “Cinta Cukup” Berbahaya?

Anggapan bahwa “cinta cukup” ini berbahaya karena ia menutupi kebutuhan vital lainnya dalam pernikahan. Ketika masalah muncul—dan percayalah, masalah pasti akan muncul—pasangan yang hanya berpegang pada cinta seringkali merasa kecewa, bingung, atau bahkan menyalahkan diri sendiri dan pasangannya. Mereka mungkin berpikir, “Jika kita saling mencintai, mengapa ini terjadi?” atau “Seharusnya cinta kita bisa mengatasi ini.” Pikiran-pikiran ini bisa memicu frustrasi dan akhirnya, kekecewaan yang mendalam.

Kenyataannya, cinta itu dinamis. Ia bisa pasang surut, berubah bentuk, dan bahkan terkadang terasa meredup di tengah rutinitas atau tekanan hidup. Jika kita tidak melengkapinya dengan elemen-elemen penting lainnya, cinta itu sendiri bisa menjadi rapuh. Bayangkan sebuah pohon yang hanya mengandalkan cahaya matahari tanpa air dan nutrisi tanah; ia mungkin tumbuh di awal, tapi akan layu seiring waktu jika tidak mendapatkan semua kebutuhannya. Rumah tangga pun demikian, cinta saja tidak akan cukup.

1. Komunikasi: Jembatan Hati yang Sering Terabaikan

Salah satu pilar terpenting yang sering terlupakan ketika mitos “cinta cukup” merajalela adalah komunikasi yang efektif. Banyak pasangan merasa bahwa karena mereka saling mencintai, pasangan mereka seharusnya bisa “membaca pikiran” atau memahami apa yang mereka rasakan tanpa perlu diungkapkan. Pemikiran ini adalah resep ampuh untuk kesalahpahaman dan kekecewaan.

Komunikasi bukan hanya sekadar berbicara, melainkan mendengarkan dengan sepenuh hati, memahami perspektif pasangan, dan berani mengungkapkan perasaan serta kebutuhan dengan jujur dan lugas. Bayangkan sebuah hubungan tanpa komunikasi: setiap masalah kecil bisa membesar, asumsi liar bisa berkembang, dan jarak emosional bisa semakin lebar. Pasangan yang saling mencintai mungkin punya niat baik, tapi tanpa komunikasi yang jelas, niat baik itu bisa tersesat di tengah jalan. Ini seperti dua orang yang ingin mencapai tujuan yang sama tapi berbicara dalam bahasa yang berbeda, mereka mungkin saling mencintai, tapi tidak akan pernah sampai tujuan jika tidak ada penerjemah.

Ketika kita merasa kesal, sedih, atau marah, seringkali yang kita butuhkan bukanlah jawaban instan, melainkan telinga yang mau mendengarkan tanpa menghakimi. Komunikasi yang sehat membangun rasa saling percaya, menciptakan ruang aman bagi pasangan untuk menjadi diri sendiri, dan membantu mereka menghadapi konflik sebagai sebuah tim, bukan sebagai lawan. Ini bukan tentang siapa yang benar atau salah, melainkan tentang bagaimana kita bisa tumbuh dan belajar bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *