3. Bertahan dan Defensif Terus-menerus
Ketika seseorang merasa diserang atau dikritik, reaksi alami adalah bertahan dan menjadi defensif. Meskipun defensif adalah mekanisme pertahanan diri, ketika pola ini menjadi kebiasaan dalam komunikasi pasangan, ia menghalangi penyelesaian masalah dan pemahaman. Pola ini seringkali muncul dalam bentuk menyalahkan balik (“Aku begini karena kamu…”), mencari alasan atau pembenaran atas kesalahan, atau bahkan mengelak dari tanggung jawab.
Contohnya, jika pasangan mengeluh tentang Anda yang sering terlambat, respons defensif mungkin adalah “Aku terlambat karena kamu juga butuh waktu lama untuk siap-siap!” atau “Bukan salahku, jalanan macet.” Daripada mendengarkan kekhawatiran pasangan dan mencari solusi, fokusnya malah bergeser pada siapa yang salah. Pola defensif menciptakan tembok di antara Anda dan pasangan, mencegah empati, dan menghambat dialog yang jujur. Untuk mengatasi ini, cobalah untuk berlatih mendengarkan secara aktif, mengakui perasaan pasangan, dan mengambil tanggung jawab atas bagian Anda dalam masalah, bahkan jika Anda merasa ada alasan di baliknya.
4. Menarik Diri atau Menghindar (Stonewalling)
Stonewalling, atau menarik diri, adalah salah satu pola komunikasi paling merusak dalam hubungan. Ini terjadi ketika salah satu pasangan secara emosional menarik diri dari percakapan atau konflik, menolak untuk merespons, atau bahkan meninggalkan ruangan secara fisik. Ini bukan sekadar diam; ini adalah penolakan aktif untuk terlibat, seolah-olah membangun tembok yang tak terlihat.
Pola stonewalling bisa terlihat seperti pasangan yang tiba-tiba menjadi dingin, tidak menanggapi pertanyaan, menatap kosong ke kejauhan, atau sibuk dengan ponsel saat Anda mencoba berbicara. Meskipun kadang-kadang seseorang mungkin perlu waktu untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan percakapan, stonewalling yang berkepanjangan adalah bentuk pengabaian emosional. Ini membuat pasangan yang mencoba berkomunikasi merasa tidak terlihat, tidak didengar, dan tidak penting. Dampaknya sangat merugikan bagi keintiman dan kepercayaan dalam hubungan, karena menciptakan perasaan putus asa dan keterasingan. Mengenali kapan Anda atau pasangan melakukan stonewalling adalah langkah penting untuk dapat menciptakan ruang aman di mana setiap orang merasa nyaman untuk berekspresi.
5. Asumsi dan Membaca Pikiran (Mind Reading)
Seringkali, kita cenderung mengasumsikan dan membaca pikiran pasangan, daripada bertanya atau mengklarifikasi. Ini adalah pola komunikasi yang berbahaya karena didasarkan pada spekulasi, bukan fakta. Kita mungkin percaya bahwa kita tahu apa yang dipikirkan atau dirasakan pasangan, padahal sebenarnya kita hanya memproyeksikan interpretasi atau ketakutan kita sendiri.
Misalnya, pasangan Anda pulang kerja dengan wajah lelah, dan Anda langsung berasumsi, “Dia pasti marah padaku karena aku lupa membayar tagihan.” Padahal, ia mungkin hanya lelah karena pekerjaan yang menumpuk. Ketika kita beroperasi dengan asumsi, kita seringkali bereaksi terhadap skenario yang kita ciptakan di kepala kita sendiri, bukan pada kenyataan. Hal ini dapat menyebabkan salah paham, pertengkaran yang tidak perlu, dan perasaan tidak dimengerti oleh kedua belah pihak. Kunci untuk menghindari pola ini adalah dengan bertanya, mendengarkan, dan mengklarifikasi, daripada membuat kesimpulan sendiri. Komunikasi yang efektif membutuhkan rasa ingin tahu dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita tidak selalu tahu apa yang ada di benak orang lain.
6. Melakukan Generalisasi dan Menggunakan Kata “Selalu” atau “Tidak Pernah”
Penggunaan kata-kata seperti “selalu” dan “tidak pernah” adalah tanda peringatan dalam komunikasi. Ini adalah bentuk generalisasi yang berlebihan yang cenderung membesar-besarkan masalah dan membuat pasangan merasa tidak ada harapan untuk berubah. Ketika kita mengatakan, “Kamu selalu meninggalkan piring kotor!” atau “Kamu tidak pernah mendengarkan aku!”, kita mengabaikan setiap kali pasangan melakukan sebaliknya.
Pola ini tidak hanya tidak akurat, tetapi juga sangat merugikan karena menghadirkan gambaran negatif yang mutlak tentang pasangan. Ini menciptakan perasaan putus asa dan membuat pasangan merasa bahwa upaya mereka tidak dihargai. Fokus pada perilaku spesifik yang ingin Anda ubah, bukan pada generalisasi yang merendahkan. Misalnya, daripada mengatakan “Kamu selalu terlambat,” cobalah “Aku merasa frustrasi ketika kita terlambat ke acara karena…” Pendekatan ini lebih konstruktif dan membuka ruang untuk solusi, bukan hanya kritik.






