Jangan Nikah Kalau Masih Percaya Hal-Hal Ini!

Jangan Nikah Kalau Masih Percaya Hal-Hal Ini!
Jangan Nikah Kalau Masih Percaya Hal-Hal Ini! (www.freepik.com)

Mitos #3: “Pernikahan yang Bahagia Berarti Tidak Ada Pertengkaran”

Mitos ini menyebabkan banyak pasangan takut akan konflik, menghindari diskusi yang sulit, atau bahkan menyimpan dendam. Akibatnya, masalah-masalah kecil menumpuk menjadi gunung es yang siap menghancurkan hubungan. Kenyataannya, pertengkaran atau konflik adalah bagian alami dari setiap hubungan manusia, termasuk pernikahan. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, mengingat setiap individu memiliki latar belakang, pandangan, dan kepribadian yang berbeda.

Yang terpenting bukanlah ketiadaan konflik, melainkan bagaimana pasangan mengelola konflik tersebut. Pertengkaran yang sehat adalah kesempatan untuk memahami satu sama lain, mengutarakan kebutuhan, dan menemukan solusi bersama. Pasangan yang mampu berdiskusi secara konstruktif, saling mendengarkan, dan berkompromi, cenderung memiliki pernikahan yang lebih kuat. Sebaliknya, menghindari konflik atau menggunakan gaya bertengkar yang destruktif (seperti saling menyerang secara pribadi, menuduh, atau mendiamkan) adalah resep bencana. Sebuah studi dari Gottman Institute, yang terkenal dengan penelitiannya tentang hubungan, menemukan bahwa pasangan yang sukses adalah mereka yang mampu mengelola konflik dengan persentase interaksi positif yang lebih tinggi daripada interaksi negatif selama pertengkaran.

Mitos #4: “Anak-anak Akan Menyelamatkan Pernikahan yang Bermasalah”

Ini adalah mitos yang sangat disayangkan dan seringkali malah memperburuk keadaan. Keyakinan bahwa kehadiran anak akan mengisi kekosongan, menyatukan kembali pasangan, atau mengalihkan perhatian dari masalah yang ada, sangatlah keliru. Faktanya, memiliki anak justru menambah tingkat stres dan tanggung jawab dalam sebuah pernikahan.

Jika fondasi pernikahan sudah goyah, kehadiran anak hanya akan menambah beban. Pasangan yang bermasalah mungkin akan semakin tertekan oleh kurang tidur, tuntutan finansial, dan perbedaan pandangan dalam pengasuhan. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan pernikahan yang tidak harmonis, penuh pertengkaran atau ketegangan, juga berisiko mengalami masalah emosional dan perilaku. Menghadirkan anak haruslah menjadi keputusan yang didasari oleh keinginan bersama untuk memperluas keluarga dalam pernikahan yang sudah stabil dan bahagia, bukan sebagai upaya terakhir untuk “menyelamatkan” sesuatu yang sudah rusak.

Mitos #5: “Pasangan Harus Selalu Menghabiskan Waktu Bersama dan Melakukan Segalanya Bersama”

Meskipun waktu berkualitas bersama sangat penting, keyakinan bahwa pasangan harus selalu bersama dan tidak memiliki ruang pribadi bisa menjadi sangat menyesakkan. Setiap individu membutuhkan waktu untuk diri sendiri, untuk mengejar hobi, bertemu teman, atau sekadar mengisi ulang energi. Mitos ini seringkali mendorong ketergantungan yang tidak sehat dan bisa menghilangkan identitas pribadi masing-masing pasangan.

Pernikahan yang sehat adalah pernikahan yang memungkinkan kedua individu untuk tumbuh secara mandiri sekaligus sebagai pasangan. Saling menghargai ruang pribadi dan mendukung minat masing-masing di luar hubungan justru bisa memperkaya pernikahan itu sendiri. Ketika Anda memiliki pengalaman atau cerita baru dari kegiatan Anda sendiri, Anda akan memiliki lebih banyak hal untuk dibagikan dengan pasangan, menjaga percakapan tetap segar dan menarik. Ini tentang menemukan keseimbangan antara kebersamaan dan individualitas.

Mitos #6: “Gairah Romantis akan Bertahan Selamanya pada Intensitas yang Sama”

Awal pernikahan atau fase bulan madu seringkali ditandai dengan gairah romantis yang membara, di mana dunia seolah berputar hanya di sekitar pasangan. Namun, seiring berjalannya waktu, intensitas gairah ini mungkin akan berubah. Mitos bahwa gairah harus selalu seperti di awal bisa menyebabkan kekecewaan dan perasaan bahwa “cinta telah hilang” jika intensitasnya menurun.

Gairah dalam pernikahan memang berubah, namun bukan berarti menghilang. Ini berevolusi. Gairah mungkin berubah dari kobaran api yang membakar menjadi bara api yang hangat dan stabil. Keintiman bisa berubah dari fokus pada fisik menjadi keintiman emosional yang lebih dalam, kepercayaan, dan persahabatan. Memahami bahwa romansa membutuhkan pemeliharaan dan upaya untuk tetap menyala, bahkan dalam bentuk yang berbeda, adalah kuncinya. Kencan malam, kejutan kecil, atau sekadar percakapan mendalam dapat membantu menjaga api tetap menyala. Survei tentang kepuasan seksual dalam pernikahan menunjukkan bahwa pasangan yang secara aktif mencari cara untuk mempertahankan keintiman fisik dan emosional memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi sepanjang pernikahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *