- Ketika Kekerasan Fisik atau Emosional Terjadi: Dalam situasi di mana salah satu atau kedua belah pihak melakukan kekerasan fisik atau emosional, menunda perceraian adalah pilihan yang sangat berbahaya. Prioritas utama adalah keselamatan dan kesejahteraan diri sendiri dan anak-anak.
- Ketika Kepercayaan Telah Hancur dan Tidak Dapat Dipulihkan: Perselingkuhan, kebohongan besar, atau pengkhianatan yang mendalam dapat menghancurkan fondasi kepercayaan dalam pernikahan. Jika kepercayaan ini tidak dapat dibangun kembali, menunda perceraian hanya akan memperpanjang rasa sakit dan pengkhianatan.
- Ketika Komunikasi Telah Terputus dan Tidak Ada Keinginan untuk Memperbaiki: Jika pasangan tidak lagi dapat berkomunikasi secara efektif, saling menghindar, atau bahkan saling membenci, dan tidak ada keinginan untuk memperbaiki komunikasi tersebut, maka menunda perceraian hanya akan menciptakan lingkungan yang dingin dan tidak sehat.
- Ketika Salah Satu Pihak Sudah Tidak Lagi Mencintai: Cinta adalah salah satu pilar utama dalam pernikahan. Jika salah satu pihak sudah tidak lagi merasakan cinta dan tidak ada harapan untuk cinta itu kembali, memaksa untuk tetap bersama hanya akan menyiksa kedua belah pihak.
- Ketika Menunda Perceraian Justru Menciptakan Lingkungan yang Lebih Buruk bagi Anak-anak: Meskipun niat awalnya adalah melindungi anak-anak, hidup dalam rumah tangga yang penuh konflik, ketegangan, dan ketidakbahagiaan justru dapat memberikan dampak psikologis yang lebih buruk bagi mereka dibandingkan dengan perceraian yang disikapi dengan baik.
- Ketika Penundaan Hanya Karena Ketakutan atau Tekanan Eksternal: Jika alasan menunda perceraian hanya didasari oleh ketakutan akan masa depan atau tekanan dari lingkungan sekitar tanpa adanya keinginan tulus untuk memperbaiki hubungan, maka penundaan ini kemungkinan besar hanya akan menunda hal yang tak terhindarkan dan menambah penderitaan.
- Ketika Kesehatan Mental Salah Satu Pihak Terganggu: Hidup dalam pernikahan yang tidak bahagia dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Jika salah satu pihak mengalami depresi, kecemasan, atau masalah kesehatan mental lainnya akibat hubungan yang buruk, menunda perceraian mungkin justru memperparah kondisi tersebut.
Data dan Fakta Terkini Seputar Perceraian
Meskipun data spesifik mengenai alasan penundaan perceraian mungkin sulit didapatkan, data mengenai tren perceraian secara umum dapat memberikan gambaran yang relevan. Di Indonesia, angka perceraian menunjukkan tren yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kasus perceraian yang diputus pengadilan agama pada tahun 2023 mencapai angka yang cukup tinggi, dengan berbagai faktor menjadi penyebabnya, mulai dari ketidakcocokan hingga masalah ekonomi.
Secara global, penelitian menunjukkan bahwa konflik dan komunikasi yang buruk menjadi penyebab utama perceraian. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Marriage and Family menemukan bahwa pola komunikasi yang destruktif, seperti kritik, defensif, meremehkan, dan menghindar, secara signifikan meningkatkan risiko perceraian.
Selain itu, faktor ekonomi juga memainkan peran penting. Tekanan finansial, pengangguran, atau perbedaan pandangan mengenai pengelolaan keuangan seringkali menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga. Pandemi COVID-19 juga diduga memberikan kontribusi terhadap peningkatan angka perceraian di beberapa negara akibat tekanan ekonomi dan sosial yang meningkat.
Tren terkini juga menunjukkan adanya peningkatan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dalam pernikahan. Pasangan semakin menyadari bahwa kebahagiaan individu dan kesehatan mental adalah fondasi penting bagi keberlangsungan hubungan yang sehat. Jika salah satu atau kedua belah pihak merasa tidak bahagia atau tertekan dalam pernikahan, perceraian mungkin dianggap sebagai pilihan terakhir untuk memulihkan kesejahteraan.






