Milenial Diam-Diam Kecewa pada Orang Tua?

Milenial Diam-Diam Kecewa pada Orang Tua?
Milenial Diam-Diam Kecewa pada Orang Tua? (www.freepik.com)

lombokprime.com – Generasi milenial sering dianggap sebagai generasi yang kritis dan terbuka, tetapi ada beberapa hal yang mereka simpan dalam hati—termasuk rasa “kecewa” halus terhadap pola asuh orang tua. Meskipun tak pernah diungkapkan secara gamblang, benang merah keluhan ini sering muncul dalam percakapan sehari-hari atau bahkan tren di media sosial. Seolah ada beban tak terlihat yang dibawa para milenial, yang ironisnya, seringkali berakar dari cara mereka dibesarkan. Mari kita selami lebih dalam, apa saja sih hal-hal yang mungkin diam-diam disalahkan milenial pada orang tuanya?

Ekspektasi Berlebihan dan Tekanan untuk “Sempurna”

Pernah merasa dituntut harus selalu jadi yang terbaik? Mulai dari nilai sekolah harus sempurna, masuk universitas favorit, sampai cepat-cepat dapat pekerjaan mapan—ini adalah salah satu “beban” yang sering dirasakan milenial. Orang tua, dengan niat baiknya, seringkali menetapkan standar yang sangat tinggi, mungkin karena ingin anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik dari mereka. Namun, bagi milenial, tekanan ini bisa terasa sangat berat.

Alih-alih memotivasi, tekanan berlebihan justru kadang memicu kecemasan dan rasa tidak percaya diri. Ketika gagal memenuhi standar tersebut, perasaan bersalah dan tidak cukup seringkali menghantui. Padahal, dunia kini sangat dinamis. Konsep “sukses” tidak lagi tunggal, tidak melulu soal pekerjaan kantoran atau gelar tinggi. Milenial merasa terkurung dalam definisi sukses yang mungkin sudah usang, dan ini membuat mereka sulit mengeksplorasi passion atau jalur karier yang non-tradisional.

Kurangnya Pendidikan Finansial yang Memadai

Siapa di sini yang merasa “melek” finansial itu seperti belajar bahasa asing? Banyak milenial tumbuh tanpa pendidikan finansial yang kuat dari orang tua. Konsep menabung, investasi, utang sehat, hingga pengelolaan anggaran pribadi seringkali baru mereka pahami setelah terjun langsung ke dunia kerja. Orang tua mungkin hanya menekankan untuk “hemat” atau “jangan boros,” tanpa memberikan pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana uang bekerja.

Padahal, di era sekarang, literasi finansial itu krusial. Dengan biaya hidup yang terus meningkat, harga properti yang melambung, dan ketidakpastian ekonomi, milenial merasa kesulitan menata masa depan finansial mereka. Mereka mungkin melihat orang tua yang berjuang dengan utang atau kesulitan finansial, dan sadar bahwa mereka tidak pernah diajari cara menghindarinya. Ini menjadi salah satu penyesalan halus karena mereka harus belajar dari nol, seringkali dengan coba-coba, di tengah tekanan hidup yang sudah tinggi.

Minimnya Ruang untuk Mengekspresikan Diri dan Emosi

“Jangan cengeng,” “Sudah, jangan banyak protes,” atau “Orang tua itu selalu benar”—frasa-frasa ini mungkin familiar di telinga banyak milenial. Di masa lalu, banyak orang tua cenderung membatasi ekspresi emosi anak, terutama yang dianggap “negatif” seperti marah, sedih, atau frustrasi. Tujuannya mungkin baik, agar anak menjadi kuat dan tidak mudah mengeluh. Namun, dampaknya bagi milenial adalah mereka kesulitan mengelola emosi dan berkomunikasi secara efektif.

Akibatnya, banyak milenial yang tumbuh menjadi pribadi yang kurang mampu mengungkapkan perasaan, cenderung memendam masalah, atau bahkan takut untuk menyuarakan pendapat yang berbeda. Ini tentu saja berdampak pada hubungan interpersonal, baik dengan pasangan, teman, maupun rekan kerja. Mereka diam-diam berharap orang tua dulu lebih mengajarkan bahwa merasa emosi itu wajar, dan bagaimana cara menyalurkannya dengan sehat, bukan malah menekannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *