Perbandingan dengan Anak Lain dan Kurangnya Apresiasi
“Lihat tuh si Fulan, sudah sukses,” atau “Kenapa kamu nggak bisa seperti si anu?”—perbandingan yang tidak adil ini seringkali menjadi “racun” pelan-pelan bagi kepercayaan diri milenial. Meskipun orang tua mungkin bermaksud memotivasi, efeknya seringkali justru sebaliknya. Milenial merasa bahwa mereka tidak pernah cukup baik, bahwa pencapaian mereka tidak pernah dihargai sepenuhnya.
Di dunia yang serba kompetitif ini, milenial sudah banyak menghadapi tekanan dari lingkungan. Ketika tekanan itu datang dari rumah, dari orang yang seharusnya menjadi sumber dukungan terbesar, rasanya jauh lebih menyakitkan. Mereka mendambakan pengakuan tulus dan apresiasi atas usaha mereka, sekecil apa pun itu, bukan sekadar tolok ukur kesuksesan orang lain. Keinginan untuk validasi ini seringkali menjadi pemicu rasa tidak puas diri yang berkepanjangan.
Ketergantungan dan “Helicopter Parenting”
Meskipun milenial dikenal mandiri, ironisnya banyak dari mereka yang juga dibesarkan dengan gaya “helicopter parenting”—orang tua yang terlalu terlibat dalam setiap aspek kehidupan anak, bahkan hingga dewasa. Mulai dari memilih jurusan kuliah, sampai mencari pekerjaan, bahkan sampai urusan asmara, campur tangan orang tua kadang terasa sangat dominan. Niatnya baik, tentu saja, yaitu melindungi dan memastikan anak tidak salah langkah.
Namun, bagi milenial, gaya asuh ini seringkali menimbulkan kesulitan dalam mengambil keputusan sendiri. Mereka jadi kurang inisiatif, mudah ragu, dan bahkan kadang merasa tidak percaya diri dengan pilihan yang mereka buat. Ketergantungan ini membuat mereka kesulitan beradaptasi dengan dunia yang menuntut kemandirian dan pengambilan risiko. Mereka diam-diam menyalahkan pola asuh yang membuat mereka kurang terbiasa menghadapi konsekuensi dari pilihan mereka sendiri.
Kurangnya Pemahaman tentang Mental Health
Topik kesehatan mental adalah isu yang sangat relevan bagi milenial. Namun, di masa orang tua mereka tumbuh, kesadaran tentang kesehatan mental masih sangat minim, bahkan sering dianggap tabu. Akibatnya, banyak orang tua yang tidak memahami ketika anak mereka menghadapi masalah kecemasan, depresi, atau stres. Respons yang seringkali diterima adalah, “Itu cuma pikiranmu saja,” atau “Kurang bersyukur.”
Hal ini membuat milenial merasa sendirian dalam menghadapi perjuangan mental mereka. Mereka kesulitan mencari dukungan dari orang tua, dan seringkali harus mencari pertolongan dari luar. Milenial berharap orang tua mereka dulu lebih terbuka terhadap isu ini, memberikan ruang aman untuk bercerita, dan memahami bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Kesulitan dalam mengakses dukungan ini seringkali menjadi sumber frustrasi yang mendalam.
Minimnya Komunikasi Terbuka dan Empati
Salah satu keluhan terbesar yang mungkin dirasakan milenial secara diam-diam adalah kurangnya komunikasi yang mendalam dan empatik. Seringkali, percakapan di rumah hanya seputar hal-hal praktis atau instruksi, tanpa ada ruang untuk diskusi dua arah, mendengarkan aktif, atau memahami perspektif anak. Orang tua mungkin terbiasa dengan gaya komunikasi satu arah, di mana anak hanya perlu mendengarkan dan mematuhi.
Milenial, sebagai generasi yang lebih ingin dimengerti dan didengar, mendambakan hubungan yang lebih setara dengan orang tua. Mereka ingin merasa didengarkan, divalidasi, dan bahwa perasaan serta pemikiran mereka itu penting. Kurangnya komunikasi ini seringkali menciptakan jarak emosional dan menghalangi terjalinnya ikatan yang lebih kuat. Ini adalah salah satu harapan tersembunyi yang belum terpenuhi.






