Dampak yang Tidak Disadari: Mencari Validasi di Luar
Semua poin di atas, baik tekanan, kurangnya pendidikan finansial, minimnya ruang ekspresi, perbandingan, ketergantungan, hingga kurangnya pemahaman mental health dan komunikasi, secara tidak langsung mendorong milenial untuk mencari validasi dan dukungan dari luar. Media sosial, teman-teman, atau bahkan mentor di tempat kerja sering menjadi tempat mereka melarikan diri untuk mencari apa yang tidak mereka dapatkan di rumah.
Ini bukan berarti orang tua milenial tidak mencintai anak-anaknya. Justru sebaliknya, niat mereka seringkali sangat baik, dilandasi oleh cinta dan keinginan untuk memberikan yang terbaik. Namun, metode dan pemahaman mereka mungkin berbeda dengan apa yang dibutuhkan oleh generasi yang tumbuh di era digital ini. Perbedaan cara pandang dan ekspektasi inilah yang menciptakan “jurang” tak kasat mata antara milenial dan orang tua mereka.
Mengatasi Jarak: Sebuah Langkah Maju
Meskipun milenial mungkin menyimpan “keluhan” atau kecewa terpendam ini, bukan berarti hubungan mereka dengan orang tua rusak. Justru, pemahaman ini bisa menjadi langkah awal untuk membangun jembatan. Bagi milenial, ini adalah kesempatan untuk mengenali akar masalah, dan mungkin, suatu hari, menemukan cara untuk mengkomunikasikannya dengan lembut dan konstruktif. Bagi orang tua, jika mereka membaca ini, mungkin ini bisa menjadi insight berharga tentang bagaimana anak-anak mereka, generasi milenial, merasakan dunia.
Pada akhirnya, setiap generasi memiliki tantangannya sendiri, dan setiap keluarga memiliki dinamikanya. Yang terpenting adalah keinginan untuk memahami, berempati, dan terus belajar—baik bagi milenial maupun orang tua mereka. Mungkin sudah saatnya kita semua membuka percakapan, bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk saling mendengarkan dan tumbuh bersama. Karena di balik semua “keluhan” ini, tetap ada cinta yang tak tergantikan.






