lombokprime.com – Kapitalisme digital telah mengubah lanskap ekonomi secara fundamental, membawa kemudahan dan inovasi, namun juga menyimpan potensi mengerikan yang perlu kita sadari dan atasi bersama. Era di mana teknologi mendominasi hampir setiap aspek kehidupan kita, dari cara kita berbelanja hingga bagaimana kita berinteraksi, telah menciptakan jurang ketidaksetaraan yang semakin lebar dan memunculkan tantangan-tantangan baru yang mengancam kesejahteraan banyak orang.
Jerat Kapitalisme Digital: Lebih dari Sekadar Kemudahan
Mungkin di permukaan, kapitalisme digital terlihat begitu menarik. Kita bisa memesan makanan, berbelanja, bahkan bekerja hanya dengan sentuhan jari. Namun, di balik kemudahan ini, tersembunyi mekanisme yang sering kali menguntungkan segelintir pihak di puncak piramida. Bayangkan saja, platform-platform raksasa teknologi mengumpulkan data kita, memonetisasinya, dan seringkali tanpa kita sadari, kita menjadi komoditas dalam ekosistem digital ini.
Salah satu isu paling mencolok adalah konsentrasi kekuatan ekonomi. Beberapa perusahaan teknologi raksasa kini memiliki pengaruh yang luar biasa, bahkan melebihi kekuatan ekonomi beberapa negara. Mereka mampu mengakuisisi kompetitor potensial, menetapkan aturan main dalam industri, dan pada akhirnya, membatasi inovasi dan pilihan konsumen. Data dari Statista menunjukkan bahwa pada tahun 2024, lima perusahaan teknologi teratas menguasai lebih dari 70% kapitalisasi pasar sektor teknologi global. Angka ini menggambarkan betapa sentralnya peran mereka dalam perekonomian digital saat ini.
Selain itu, eksploitasi data pribadi menjadi isu krusial lainnya. Setiap kali kita menggunakan layanan digital, kita meninggalkan jejak data yang sangat berharga. Data ini kemudian digunakan untuk menargetkan iklan, memengaruhi perilaku konsumen, dan bahkan berpotensi disalahgunakan. Kita seringkali tidak memiliki kendali penuh atas data kita, dan transparansi mengenai bagaimana data tersebut digunakan masih sangat minim. Sebuah studi dari Pew Research Center mengungkapkan bahwa 81% orang dewasa di Amerika Serikat merasa tidak memiliki kendali atas data yang dikumpulkan oleh perusahaan. Ini menunjukkan adanya keresahan global terkait isu privasi di era digital.
Ketika Algoritma Mengatur Segalanya: Kehilangan Kontrol?
Salah satu aspek “mengerikan” lainnya dari kapitalisme digital adalah peran algoritma yang semakin dominan. Algoritma kini memengaruhi apa yang kita lihat di media sosial, berita yang kita baca, bahkan keputusan penting seperti pengajuan kredit atau lamaran pekerjaan. Meskipun algoritma dirancang untuk efisiensi dan personalisasi, mereka juga berpotensi memperkuat bias yang sudah ada, menciptakan filter bubble yang membatasi pandangan kita, dan bahkan menghilangkan pekerjaan manusia melalui otomatisasi.
Laporan dari World Economic Forum memprediksi bahwa otomatisasi dan adopsi teknologi baru dapat menghilangkan 85 juta pekerjaan secara global pada tahun 2025, meskipun juga berpotensi menciptakan 97 juta pekerjaan baru dengan keterampilan yang berbeda. Pergeseran ini menuntut kita untuk beradaptasi dan mempersiapkan diri menghadapi masa depan pekerjaan yang akan sangat berbeda.
Lebih jauh lagi, model bisnis gig economy yang dipopulerkan oleh platform digital seringkali menimbulkan pertanyaan terkait hak-hak pekerja. Meskipun memberikan fleksibilitas bagi sebagian orang, banyak pekerja gig economy tidak memiliki akses ke tunjangan kesehatan, cuti berbayar, atau jaminan sosial lainnya yang umumnya didapatkan oleh pekerja formal. Hal ini menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan kerentanan bagi jutaan orang yang mengandalkan pekerjaan ini sebagai sumber penghasilan utama.






