Karier  

Atasan Toxic Bikin Stres? Ini Trik Bertahan

Atasan Toxic Bikin Stres? Ini Trik Bertahan
Atasan Toxic Bikin Stres? Ini Trik Bertahan (www.freepik.com)

lombokprime.com – Fenomena atasan yang merasa paling benar, paling tahu segalanya, dan cenderung mengabaikan kontribusi bawahan bukanlah hal baru. Namun, dampaknya bisa sangat merusak tidak hanya produktivitas, tetapi juga kesehatan mental karyawan. Artikel ini akan membahas tuntas bagaimana kita bisa menghadapi situasi sulit ini dengan strategi yang cerdas dan tetap menjaga diri.

Mengenali Tanda-tanda Kepemimpinan Toxic

Sebelum kita membahas cara bertahan, penting untuk mengenali dulu apa saja ciri-ciri kepemimpinan yang bisa dikategorikan sebagai toxic. Bukan cuma soal atasan yang galak atau sering marah, lho. Kepemimpinan toxic itu lebih kompleks dan sering kali terselubung dalam bentuk-bentuk yang mungkin awalnya tidak kita sadari.

1. Ketika Pujian Sulit Didapat, Kritik Selalu Ada

Pernahkah kamu merasa sekeras apa pun usahamu, pujian selalu sulit didapat, namun kritik sekecil apa pun langsung jadi masalah besar? Atasan yang toxic cenderung minim apresiasi. Mereka mungkin melihat keberhasilan sebagai hasil dari keberuntungan atau bahkan mengklaimnya sebagai hasil dari arahan mereka semata. Sebaliknya, setiap kesalahan, sekecil apa pun, akan dibesar-besarkan dan dijadikan amunisi untuk merendahkan. Lingkungan seperti ini membuat kita merasa tidak dihargai dan takut berinovasi karena takut salah.

2. Mikro-manajemen yang Berlebihan

Atasan yang merasa “dewa” seringkali tidak percaya pada kemampuan timnya. Mereka merasa harus mengontrol setiap detail pekerjaan, bahkan hingga hal-hal kecil yang sebenarnya bisa didelegasikan. Ini yang kita sebut mikro-manajemen. Akibatnya, kita jadi sulit bergerak, kreativitas terhambat, dan rasanya seperti robot yang hanya menjalankan perintah tanpa diberi ruang untuk berpikir. Pekerjaan yang seharusnya menyenangkan pun jadi terasa membosankan dan membebani.

3. Komunikasi Satu Arah dan Tertutup

Komunikasi adalah kunci dalam setiap hubungan, termasuk di tempat kerja. Atasan yang toxic cenderung melakukan komunikasi satu arah. Mereka bicara, kita dengar. Pendapat kita sering diabaikan, bahkan dianggap tidak relevan. Ruang untuk berdiskusi, bernegosiasi, atau bahkan sekadar menyampaikan ide pun terasa tertutup rapat. Ini menciptakan suasana di mana karyawan merasa tidak punya suara dan hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan atasan.

4. Menempatkan Diri di Atas Segalanya

Ciri khas lain dari atasan yang merasa “dewa” adalah kecenderungan untuk menempatkan kepentingan pribadi atau citra diri mereka di atas kepentingan tim atau bahkan perusahaan. Mereka mungkin mengambil keuntungan dari kerja keras tim, menghindari tanggung jawab saat ada masalah, atau bahkan menyalahkan bawahan untuk kesalahan yang mereka buat. Ini adalah bentuk narsisme kepemimpinan yang sangat merugikan.

5. Lingkungan Kerja Penuh Ketakutan dan Ancaman

Pada tingkat yang lebih parah, kepemimpinan toxic bisa menciptakan lingkungan kerja yang dipenuhi ketakutan. Ancaman pemecatan, intimidasi, atau bahkan teriakan mungkin menjadi hal biasa. Karyawan jadi takut untuk berbicara, takut untuk mengajukan ide, dan akhirnya hanya berusaha untuk “selamat” di tempat kerja, bukan untuk berkembang.

Strategi Bertahan: Mengambil Kendali atas Situasi

Mengenali masalah adalah langkah pertama. Selanjutnya, bagaimana kita bisa bertahan tanpa harus mengorbankan diri sendiri? Ingat, tujuan kita adalah menjaga kesehatan mental, tetap produktif, dan mencari jalan keluar terbaik.

1. Kuatkan Batasan Pribadi

Salah satu hal terpenting adalah menetapkan batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan profesional. Atasan yang toxic seringkali tidak menghargai waktu pribadi kita. Mereka mungkin menghubungi di luar jam kerja, mengharapkan respon cepat, atau bahkan memberi tugas di akhir pekan. Belajarlah untuk mengatakan “tidak” dengan sopan namun tegas, atau batasi interaksi di luar jam kerja jika tidak mendesak. Ini bukan berarti kita tidak loyal, tapi kita menghargai diri sendiri. Ingat, produktivitas optimal muncul dari keseimbangan hidup yang sehat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *