lombokprime.com – Gen Z, sebuah generasi yang dikenal dengan keberanian dan keterbukaan mereka, seringkali dihadapkan pada tantangan di dunia kerja, bahkan tak jarang muncul pertanyaan: mengapa Gen Z sering dipecat? Seolah menjadi buah bibir, isu ini mencuat dan memunculkan berbagai spekulasi. Apakah kejujuran yang seringkali menjadi prinsip utama Gen Z justru menjadi bumerang bagi mereka? Atau adakah faktor lain yang membuat adaptasi mereka di lingkungan profesional menjadi lebih kompleks? Mari kita telusuri lebih dalam fenomena ini, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana kita semua bisa memahami serta mencari solusi agar potensi luar biasa Gen Z bisa bersinar optimal di dunia kerja.
Kejujuran adalah nilai luhur yang sepatutnya dihargai, namun dalam konteks profesional, terkadang batas antara kejujuran dan etika komunikasi menjadi tipis. Gen Z, yang tumbuh di era digital dengan akses informasi tanpa batas dan budaya “transparansi”, seringkali merasa tidak perlu berbasa-basi. Mereka cenderung menyampaikan pendapat apa adanya, tanpa filter yang terlalu ketat. Ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, kejujuran ini bisa membawa inovasi dan efisiensi karena masalah dapat diungkap dengan cepat. Namun, di sisi lain, kurangnya filter dan pertimbangan terhadap hierarki atau budaya perusahaan bisa disalahartikan sebagai ketidakpatuhan atau kurangnya rasa hormat.
Kejujuran Tanpa Filter: Ketika Niat Baik Disalahpahami
Salah satu karakteristik Gen Z yang paling menonjol adalah keinginan mereka untuk keaslian dan kejujuran. Mereka dibesarkan di lingkungan di mana media sosial sering menampilkan sisi “nyata” kehidupan, meskipun seringkali disaring. Namun, filosofi ini terbawa ke tempat kerja. Mereka mungkin tidak segan untuk menyampaikan ketidakpuasan terhadap sistem, menanyakan alasan di balik kebijakan yang tidak masuk akal, atau bahkan mengkritik cara kerja atasan, semua itu dengan niat baik untuk perbaikan. Sayangnya, tidak semua lingkungan kerja siap atau terbuka untuk jenis komunikasi seperti ini.
Bagi generasi sebelumnya, terutama Baby Boomers dan Gen X, yang mungkin lebih terbiasa dengan struktur hierarki yang ketat dan komunikasi yang lebih formal, pendekatan “langsung” dari Gen Z bisa terasa asing atau bahkan kurang ajar. Mereka mungkin melihatnya sebagai bentuk pembangkangan, bukan upaya konstruktif untuk meningkatkan kinerja. Misalnya, seorang Gen Z yang langsung menyuarakan bahwa proyek A seharusnya dikerjakan dengan cara B karena lebih efisien, tanpa melalui saluran komunikasi yang “tepat” atau menggunakan bahasa yang lebih “diplomatis,” bisa saja dianggap melangkahi wewenang atau tidak menghargai proses yang ada.
Hal ini bukan berarti Gen Z salah atau harus mengubah diri sepenuhnya. Namun, ini menunjukkan adanya gap komunikasi dan ekspektasi antara generasi. Kejujuran adalah aset, tetapi penyampaiannya juga krusial. Memahami kapan dan bagaimana menyampaikan kejujuran, serta mempertimbangkan audiens dan konteks, adalah keterampilan yang bisa diasah dan sangat bermanfaat dalam perjalanan karier.
Ekspektasi Realistis Versus Realitas Kantor: Benturan Budaya Kerja
Selain masalah komunikasi, ada pula benturan ekspektasi. Gen Z tumbuh di dunia yang serba cepat, dengan akses instan terhadap informasi dan kepuasan. Mereka terbiasa dengan umpan balik yang cepat, fleksibilitas, dan tujuan yang jelas. Ketika mereka masuk ke dunia kerja yang mungkin lebih lambat, birokratis, atau kurang transparan, seringkali muncul rasa frustrasi.






