Lombokprime.com – Belakangan ini, makin santer terdengar celotehan bahwa perusahaan, terutama di Indonesia, ogah merekrut Gen Z. Benarkah demikian? Apakah ada sesuatu yang salah dengan generasi yang lahir di era digital ini, ataukah justru ada kesalahpahaman yang perlu kita luruskan bersama? Mari kita selami lebih dalam, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik narasi yang kian berkembang ini.
Menyelami Stereotip: Apa yang Membuat Gen Z “Berbeda”?
Setiap generasi memiliki ciri khasnya masing-masing, dan Gen Z, yang besar di tengah gempuran informasi dan teknologi digital, tentu saja punya keunikan tersendiri. Namun, kadang keunikan ini dibingkai dalam stereotip yang kurang menguntungkan, terutama di mata sebagian rekruter atau manajer senior.
Gen Z: Terlalu Idealistis dan Kurang Tahan Banting?
Salah satu pandangan yang sering muncul adalah bahwa Gen Z dianggap terlalu idealistis. Mereka punya ekspektasi tinggi terhadap lingkungan kerja yang positif, inklusif, dan punya tujuan yang jelas. Mereka tak segan menyuarakan pendapat, bahkan jika itu berarti menantang status quo. Bagi sebagian perusahaan, hal ini bisa dilihat sebagai “kurang tahan banting” atau “cepat menyerah” jika dihadapkan pada realitas kerja yang penuh tekanan. Padahal, mungkin itu adalah bentuk adaptasi mereka terhadap dunia yang bergerak begitu cepat, di mana idealisme bisa menjadi pemicu inovasi.
Ekspektasi Gaji Tinggi dan Keinginan Fleksibilitas yang Berlebihan?
Tidak sedikit pula yang menganggap Gen Z punya ekspektasi gaji yang “di luar nalar” untuk seorang fresh graduate, atau menuntut fleksibilitas kerja yang berlebihan. Mereka mendambakan work-life balance yang lebih baik, tak keberatan bekerja dari mana saja, dan mencari lingkungan yang mendukung perkembangan diri, bukan sekadar tempat mencari nafkah. Ini seringkali kontras dengan budaya kerja konvensional yang mungkin lebih menekankan jam kerja panjang dan kehadiran fisik di kantor. Namun, bukankah keinginan akan fleksibilitas dan keseimbangan hidup adalah hal yang patut diperjuangkan, terlebih di era yang serba cepat ini?
Mengapa Perusahaan “Merasa” Sulit Merekrut Gen Z?
Narasi “perusahaan ogah rekrut Gen Z” tentu tidak muncul begitu saja. Ada beberapa alasan yang mungkin mendasari persepsi ini, baik dari sudut pandang perusahaan maupun Gen Z sendiri.
Kesenjangan Komunikasi dan Ekspektasi
Salah satu akar masalahnya seringkali terletak pada kesenjangan komunikasi dan ekspektasi. Perusahaan mungkin mengharapkan karyawan yang langsung “siap tempur” dan bisa beradaptasi dengan sistem yang ada, sementara Gen Z mencari tempat di mana mereka bisa berkontribusi dengan nilai-nilai dan ide-ide baru. Kurangnya jembatan pemahaman ini bisa menciptakan friksi sejak awal proses rekrutmen. Perusahaan mungkin merasa Gen Z terlalu banyak bertanya, terlalu banyak menuntut, atau kurang inisiatif dalam hal-hal yang dianggap “dasar”.
Tantangan Adaptasi Terhadap Budaya Perusahaan Tradisional
Banyak perusahaan, terutama yang sudah mapan, memiliki budaya kerja yang cenderung hierarkis dan terstruktur. Ini bisa jadi tantangan bagi Gen Z yang terbiasa dengan lingkungan yang lebih datar, kolaboratif, dan transparan. Mereka menghargai umpan balik yang konstruktif dan kesempatan untuk berinovasi. Ketika budaya perusahaan tidak selaras dengan nilai-nilai ini, Gen Z bisa merasa tidak betah atau tidak termotivasi, yang pada akhirnya memunculkan stigma “sulit diatur” atau “tidak loyal”.
Keterbatasan Keterampilan Non-Teknis (Soft Skills)
Meskipun Gen Z dikenal melek teknologi, ada kekhawatiran bahwa mereka mungkin kurang memiliki keterampilan non-teknis seperti komunikasi interpersonal tatap muka, negosiasi, atau resolusi konflik. Interaksi yang dominan melalui media digital bisa membuat mereka kurang terbiasa dengan dinamika sosial di lingkungan kerja fisik. Tentu saja, ini adalah generalisasi, namun kekhawatiran ini seringkali menjadi pertimbangan bagi rekruter yang mencari kandidat dengan paket lengkap.






