1. Kesulitan dalam Membangun Kepercayaan
Ketika rasa aman dihancurkan di usia muda, anak-anak mungkin kesulitan membangun kepercayaan pada orang lain di kemudian hari. Mereka mungkin menjadi lebih curiga, lebih berhati-hati, dan bahkan mungkin menarik diri dari hubungan intim. Pengalaman dikhianati oleh stabilitas rumah tangga bisa membuat mereka takut untuk menaruh kepercayaan penuh pada siapa pun, termasuk teman atau pasangan di masa dewasa.
2. Masalah Perilaku dan Emosional
Tidak jarang, anak-anak korban perceraian menunjukkan masalah perilaku atau emosional. Mereka mungkin menjadi lebih agresif, lebih pendiam, atau lebih cemas. Ada yang mungkin mengalami kesulitan di sekolah, baik secara akademis maupun sosial. Beberapa mungkin mengembangkan kebiasaan buruk sebagai bentuk coping mechanism, seperti menarik diri, makan berlebihan, atau bahkan self-harm. Ini adalah cara mereka bereaksi terhadap tekanan emosional dan hilangnya rasa aman yang mereka alami.
3. Dampak pada Citra Diri dan Harga Diri
Perceraian juga bisa merusak citra diri dan harga diri seorang anak. Mereka mungkin merasa tidak cukup baik, atau merasa ada yang salah dengan diri mereka sehingga orang tua mereka tidak bisa hidup bersama. Perasaan ini bisa mengakar dalam diri mereka, memengaruhi bagaimana mereka melihat potensi diri, keberhasilan, dan kebahagiaan mereka di masa depan. Mereka mungkin merasa kurang berharga, dan ini bisa menghambat mereka untuk mencapai potensi penuh mereka.
Membangun Kembali Benteng Rasa Aman: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Meskipun perceraian adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari bagi sebagian keluarga, ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membantu anak-anak membangun kembali rasa aman mereka dan meminimalkan dampak negatifnya. Ini adalah tentang memberikan dukungan, pengertian, dan lingkungan yang stabil sebisa mungkin.
1. Prioritaskan Kesejahteraan Emosional Anak
Hal paling penting adalah selalu memprioritaskan kesejahteraan emosional anak. Ini berarti menyingkirkan ego pribadi dan fokus pada kebutuhan mereka. Hindari pertengkaran di depan anak, jangan menjadikan anak sebagai alat untuk menyampaikan pesan kepada mantan pasangan, dan jangan pernah menjelek-jelekkan mantan pasangan di hadapan mereka. Anak-anak membutuhkan kedua orang tua mereka, terlepas dari status hubungan orang tua.
2. Menjaga Komunikasi yang Terbuka dan Jujur
Komunikasi adalah kunci. Bicaralah dengan anak-anak secara jujur, tetapi dengan bahasa yang sesuai dengan usia mereka. Jelaskan bahwa perceraian bukan kesalahan mereka, dan bahwa kedua orang tua akan selalu mencintai mereka. Berikan kesempatan kepada mereka untuk mengungkapkan perasaan mereka, bahkan jika itu adalah kemarahan atau kesedihan. Jadilah pendengar yang baik dan validasi perasaan mereka. “Tidak apa-apa kok kalau kamu sedih,” atau “Ibu/Ayah mengerti kamu marah,” bisa sangat membantu.
3. Menciptakan Stabilitas dan Rutinitas Baru
Meskipun rutinitas lama mungkin sudah tidak ada, penting untuk menciptakan rutinitas baru yang stabil dan prediktif. Ini bisa berarti jadwal kunjungan yang konsisten, waktu makan bersama, atau kegiatan keluarga yang teratur. Semakin banyak prediktabilitas yang bisa kita berikan, semakin aman anak akan merasa. Jika memungkinkan, usahakan agar mereka tetap berada di sekolah yang sama dan mempertahankan lingkaran pertemanan mereka.
4. Dukungan dari Jaringan Luas
Anak-anak yang mengalami perceraian juga membutuhkan dukungan dari jaringan yang lebih luas—kakek-nenek, paman, bibi, guru, atau bahkan konselor sekolah. Mendorong mereka untuk memiliki hubungan yang kuat dengan orang dewasa yang peduli bisa memberikan sumber rasa aman dan dukungan tambahan. Terkadang, berbicara dengan pihak ketiga yang netral bisa membantu anak memproses emosi mereka dengan lebih baik.






